The
Red Coat
Hari
Minggu yang panas di bulan Juli. Siang itu langit Tasikmalaya nampak biru bersih
dengan Matahari menjadi satu-satunya ornamen di angkasa. Aku membetulkan letak
kacamata minusku yang bertengger di hidung, bersandar menikmati aroma angin
dari balik jendela kamar tanpa teralis dengan satu penyekat di bagian
tengahnya.
Seorang
perempuan pertengahan 30 yang kupanggil tante Tina menerobos kamarku sambil
menggendong putrinya. Kudapati wajah memelasnya ketika dia mendatangiku.
“Tolong jaga Davina sampai tante kembali ya Vell, tante percayakan dia sama
kamu. Davina suka rewel kalau dibawa ke kondangan “
Aku
memutar bola mata, berfikir beberapa saat sebelum meng-iyakan. “Tapi jangan
lama ya tanteu, aku suka parno kalau Cuma berdua sama Davina di rumah.”
Davina yang masih berusia 2 tahun
mengacuhkan percakapan kami dan memilih asyik dengan boneka barbie di tanganya.
Tante Tina meraihnya dan menghujaninya dengan ciuman sebelum diambil alih
olehku.
“Tante
akan segera kembali kalau acaranya sudah selesai.” Ucap tante Tina lalu
bergegas pergi, kentara sekali kalau ia buru-buru.
“Davina hari ini main nya sama Kak
Vell dulu ya, tapi Davina jangan aneh-aneh.” Ujarku hati-hati.
Davina tidak menggubrisnya, ponakan kecilku
itu malah larut
lagi dalam dunianya bersama boneka Barbie. Lantas aku mendudukan dia di atas
tempat tidur dan merebahkan diri disampingnya. Aku meraih ponsel yang tak jauh
dari tempat tidurku, karena Davina juga asyik dengan dunianya aku pun
mengotak-atik ponsel dan larut untuk beberapa saat.
Untuk
beberapa saat kamarku sangat tenang, sampai akhirnya Davina memecah keheningan
kamarku dengan tawa renyahnya.
Ia tertawa dengan cara seperti saat aku sedang melakukan lelucon konyol untuk
menghiburnya. Boneka Barbie yang sejak tadi asyik dimainkannya kini tergeletak
tepat di ujung kaki, sudah tak menarik lagi bagi dia. Jelas bukan boneka itu alasan
yang membuat Davina tertawa.
Aku
hampir terlonjak mendengar tawa renyahnya, ku simpan ponselku dan menatapya
dengan was-was. “Davina ngetawain apa?” Tanyaku lembut.
Dengan
tawa yang masih tersisa dibibirnya Davina menunjuk jendela. Aku mengikuti arah
telunjuknya dan hanya mendapati udara kosong, tidak ada apa-apa disana. Namun
karena penasaran aku turun dari tempat tidur, melangkah semakin dekat ke
jendela. Tetap tidak ada hal lain yang tampak
disana kecuali genteng rumah yang berpetak-petak dan langit biru cerah yang
membentang
sepanjang mata memandang. Dari sana perasaanku mulai tidak enak, jangan-jangan Davina
memulai lagi keanehanya.
“Hahahaha….
Hahahaha.. Lagi.. Lagi…”
Aku
melirik ke arah Davina, ia masih menatap jendela dengan pandangan tertarik.
Karena ini bukan kali pertama Davina seperti ini, aku kembali ke tempat tidur,
mengabaikan tingkah anehnnya dan memilih memeriksa ponselku. Lagi-lagi aku
membetulkan posisi kacamataku, hal ini seperti sudah jadi kebiasaan, kadang aku
tak sadar saat melakukanya.
“Iiiiii
jijik iiiiii”
Aku
tertegun saat Davina meracau lagi. Kini pikiranku mulai kacau membayangkan
sesuatu yang tak bisa ku lihat sedang bermain denganya. Tetapi aku berusaha menguatkan
diri dengan memfokuskan pikiran pada isi ponselku.
“Ahahah..
Melaah.. ambutnya.. melah…” (Merah, Rambutnya merah)
Hancur. Aku sudah mencoba menguatkan pikiranku
yang kacau namun pada akhirnya tetap gagal. Aku tidak bisa menahan bayangan negatif
dalam kepalaku, bayangan itu dengan jelas menggambarkan seseorang berambut
merah muncul dari arah jendela lalu menghibur ponakan kesayanganku yang memang
aneh. Detik itu juga rasa takut menyeruak, bulu kuduk-ku merinding, badanku
lemas. Tetapi aku berusaha bangkit untuk meraih Davina dan menggendongnya pergi
dari kamarku. Sebisa mungkin aku tidak melihat ke arah jendela, meski begitu
aku merasa seseorang berdiri disana
menatap kepergian kami dengan kecewa.
Setibanya
di ruang tamu aku segera menelepon tante Tina. “Hallo tante, cepet pulang ya.
Davina mulai aneh lagi, Vellove takut.”
“Ya ampun Vel, ini tante nyampe
juga belum.” Sahut tante Tina dari sebrang sana.
“Pokoknya
aku gak mau tau, tante cepet pulang ya!” Tanpa menunggu jawaban dari tante Tina
aku sudah lebih dulu menutup teleponya. Tanganku masih gemetar, sementara
Davina hanya memandangku dengan tatapan polos.
Beberapa saat kemudian Davina merengek
meminta boneka Barbie nya yang ketinggalan di kamarku, tapi aku masih enggan kembali
kesana. Bayangan sesuatu yang menyeramkan sedang menari-nari di kepalaku,
rambutnya berwarna merah, dan mengajak Davina bermain melalui jendela kamar.
Aku sangat paham bukan kamarku letak keanehanya, tapi pada diri ponakan kecilku
ini. Dia sering bertanya tentang seseorang padaku, Itu ciapa? Kak Vell itu ciapa? Tapi aku sendiri tidak bisa
menjawabnya karena memang tidak ada siapapun pada arah yang di tunjuk Davina.
Awalnya aku pikir itu hanya imajinasi anak kecil saja.
Tapi
lama kelamaan Davina membuatku takut. Sewaktu-waktu dia akan mengajak masuk
seseorang ke dalam rumah, tapi tidak ada siapa pun di luar. Dia menonton TV
sambil asyik mengobrol padahal dia sendirian, lalu tiba-tiba akan tertawa tanpa
alasan. Aku juga pernah memberinya biskuit, kemudian dia menawarkan biskuit itu
pada seseorang tak kasat mata. Yang kulihat Davina hanya mengangkat tanganya
dan menyodorkan biskuit itu ke udara kosong.
Tante
Tina dengan mobil fortunernya datang setelah beberapa saat aku menunggu dengan
gelisah. Aku mengisyaratkan agar tante Tina tidak turun dari mobil. Sebelum
mesin mobil dimatikan aku membuka pintu mobil dan masuk sambil menggendong
Davina.
“Davina
aneh gimana maksud kamu Vell?” Tante Tina langsung menodongku dengan pertanyaan
itu, mimik wajahnya tampak khawatir. Ia memindahkan Davina ke pangkuanya, mata Davina
langsung berbinar saat ia melihat Bunda-nya.
Aku
pun menceritakan kejadian menakutkan tadi kepada tante Tina.
“Kan
aku udah bilang tante, Davina itu aneh. Ini bukan pertama kalinya Davina membuatku
takut, Dia punya teman imajinasi, aku khawatir Davina akan terus seperti ini
sampai dia dewasa.” Cerocosku dengan nada resah bercampur rasa takut.
Tante
Tina terdiam untuk beberapa saat.
“Vel,
menurut tante..” Ucapan tante Tina menggantung, terdengar ragu-ragu. “Kalau
menurut tante masalahnya bukan ada pada Davina. Davina tidak aneh, justu yang
aneh itu kamu.”
Aku
tersentak mendengar ucapan tante Tina. “Kok jadi aku yang aneh?”
“Vell,
sekali lagi Davina itu gak aneh” Ucap tante Tina dengan penuh penekanan. “Dia
normal selama sama tante atau pun Om Rizal, atau dengan siapa pun. Tidak ada
yang pernah mengeluh tentang keanehanya selain kamu.”
Tante
Tina meranik nafas, lalu melanjutkan.
“Setelah waktu itu kamu bilang Davina suka bicara sendiri dan tertawa tanpa
alasan, tante lebih memperhatikan dia. Tapi tante tidak pernah melihat Davina
seperti apa yang kamu bilang, om Rizal juga begitu. Davina baik-baik saja, disa
seperti anak kecil pada umumnya.”
Aku
mencoba menyanggahnya. “Ta..Tapi mungkin saja itu….”
“Vell..”
Potong tante Tina. “Tante menghabiskan waktu bersama Davina setiap saat, bukan
sekali dua kali kami juga mengajak Davina
jalan-jalan di malam hari. Dan ia tidak pernah menunjukan
tanda-tanda kalau ia memiliki teman imajinasi seperti yang kamu bilang.”
Aku
tertegun, diam. Kehabisan kata-kata.
“Tadi
tante sempat membahas topik ini dengan teman tante, mungkin kasusmu sama dengan
apa yang terjadi dengan sepupunya. Ada makhluk tak kasat mata yang mengikuti
kamu kemana-mana, dan Davina bisa
melihat keberadaanya karena dia masih kecil.”
Aku
membulatkan mata tak percaya, lalu cepat-cepat menyanggahnya. “Itu mustahil”
“Ya
memang faktanya seperti ini mau bagaimana lagi? Toh kamu juga tidak bisa
menjelaskan secara rasional apa yang terjadi dengan Davina.”
Aku
terdiam, tapi masih tetap tidak bisa menerima ucapan tante Tina.
“Kamu
tidak usah khawatir, selama itu tidak mengganggu katanya tidak apa-apa.”
Aku
memijit pelipisku. “Sepertinya kita terlalu banyak menonton film horror.”
Sedikit
pun aku tidak mempercayai ucapan tante Tina. Selama ini aku baik-baik saja,
tidak pernah ada kejadian aneh dalam hidupku, semuanya normal. Aku tau tante
Tina hanya berusaha membela anak kesayanganya dengan cara menyudutkanku, ia
tidak terima Davina disebut aneh. Aku pun tidak akan mengambil pusing masalah
ini, semuanya pasti akan berlalu seiring berjalanya waktu.
* * *
Namaku
Vellove Linda, usiaku 17 tahun tepat pada bulan Juli ini. Tercatat sebagai
siswi kelas XII SMA N 3 Tasikmalaya yang terletak di jl. Kolonel Basyir Surya no Jawa Barat. Lokasinya tidak jauh dari rumahku, hanya terpisah jarak sekitar 5
meter. Orang
tuaku meninggal pada kecelakaan tunggal 10 tahun silam, lalu aku dibesarkan
oleh kerluarga dari ayahku. Diantara mereka semua aku hanya dekat dengan tante
Tina. Pada intinya aku adalah
gadis remaja normal. Sampai akhirnya mimpi itu muncul, kemudian terus menerus
mendatangiku setiap malam.
Dimimpiku
itu aku berlari di tempat yang asing dengan berlinang air mata. Nafasku sesak
menahan sakit luar biasa yang menikam dadaku, entah kenapa aku merasa hatiku
begitu hancur tanpa alasan yang jelas. Langit berwarna orange dengan fajar di
ufuk timur masih belum sepenuhnya merekah. Aku menyusuri jalan setapak dengan
terseok-seok menyeret gaun putih yang membalut tubuhku, pepohonan tinggi dan
besar berjajar rapi memagari jalan yang kulewati.
Langkahku berhenti di depan sebuah kobaran
api yang melahap habis sebuah bangunan tua mirip kerajaan zaman dulu. Dengan
gelisah dan putus asa aku menoleh kesana kemari mencari sesuatu yang berharga,
yang aku sendiri tidak tau apa yang aku cari itu. Namun setelah ekor mataku
menemukan seseorang berdiri di menara kerajaan yang belum terjamah lidah api,
detik itu juga aku menangis histeris. Aku memanggil-manggil namanya tanpa
suara. Seseorang menahan tubuhku ketika aku mencoba menembus kobaran api untuk
menyelamatkan orang itu.
Tapi
hal mengerikan itu akhirnya terjadi, retina mataku menyaksikan sendiri orang tersebut menjatuhkan diri ke dalam kobaran api.
Aku semakin histeris dan meronta-ronta di dalam pelukan seseorang. Aku
merasakan kepedihan yang amat mendalam, rasa kehilangan luar biasa yang
mencabik-cabik hatiku sampai rasanya tidak ingin lagi menghadapi dunia.
Aku terisak dalam tidurku, sampai
aku bangun pun tangisanku tidak berhenti. Rasanya ada suatu bongkahan besar
yang menahan dadaku sehingga membuatnya sesak, sangat sesak sampai aku tidak
bisa bernafas. Aku terduduk di tepi ranjang, kemudian beranjak untuk membuka
jendela kamarku dan berdiri di sana cukup lama. Membiarkan angin malam masuk
menerpa wajahku dan menghembuskan sedikit perasaan lega. Rembulan malam itu
tampak seperti balon berwarna kuning pucat yang mengapung di udara. Setelah
beberapa saat mematung di depan jendela, akhirnya aku mendapat ketenanganku
kembali. Air mataku berhenti mengalir dan nafasku sudah normal kembali.
* * *
Bel SMA Citra Harapan berbunyi
nyaring memecah kesunyian pagi, nyaris terdengar ke seantero wilayah Margajaya.
Para remaja berseragam putih abu berbondong-bondong memasuki gerbang masuk
sekolah yang beberapa menit lagi akan ditutup. Dari gerbang masuk, mereka
berjalan melewati lapangan upacara sebelum akhirnya tiba di gedung lantai tiga
yang menjadi pusat kegiatan belajar mengajar.
Aku membenarkan letak kacamata yang bertengger di hidungku seraya
mempercepat langkah melewati lapangan upacara. Lalu memasuki lobi yang dijejal ratusan
piala, poster dan visi misi sekolah yang aku sendiri malas untuk membacaanya. Di
ujung lobi aku menemukan dua tangga yang saling berhadapan dan sama-sama
terhubung ke lantai dua. Dari sana aku masih harus menaiki satu tangga lagi
untuk mencapai kelas XII di lantai 3.
“Vell…” Suara itu terdengar
setibanya di lantai 3. Aku tersenyum pada sosok perempuan hitam manis yang
sekarang sedang melambaikan tanganya ke arahku.
“Noorma…” Aku balas memanggil nama
sahabat dekatku itu.
“Sekolah sudah menyetujui proposal
kita untuk mengikuti Lomba Karya Tulis Ilmiah tahun ini.” Seru Noorma dengan mata
yang berbinar.
Binar di mata Noorma menular padaku.
“Serius lo?”
Noorma mengangguk dengan antusias,
lantas kami berpelukan dengan perasaan penuh kemenangan.
“Gilang dimana?” Aku celingukan
mencari rekan satu tim-ku yang satu lagi.
“Lagi di panggil pak Bambang buat
ngobrolin rencana penelitian kita. Gilang semangat banget ngerjain proyek ini.”
Jawab Noorma.
Aku mengangguk-angguk. “Kita juga
harus semangat, karena bisa jadi ini tahun terkahir kita ikut kompetisi.”
“Itu
dia anaknya, panjang umur tuh orang.” Seru Noorma sambil melambai ke arah
koridor dekat kelas kami.
Pandanganku langsung beralih kepada
Gilang yang berjalan sambil menenteng tasnya. Tanpa di beri aba-aba, lelaki
jangkung itu langsung menghampiri kami.
“Respon
wakasek luar biasa mendukung penelitian kita kali ini. Pokonya harus ngerjain
proyeknya hari ini juga!” Ujar Gilang dengan nada antusias.
“Kemungkinan
lombanya diadakan 3 bulan lagi, jadi kita akan punya banyak waktu.” Kata
Noorma.
Percakapan berakhir ketika peringatan
untuk melaksanakan upacara bergema lewat speaker
yang di pasang di seluruh penjuru sekolah. Aku, Gilang, dan Noorma terpaksa
harus menuruni tangga dengan setengah hati. 15 menit kemudian upacara
berlangsung dengan khidmat.
“Sumpah hari ini panas banget..”
Keluh Noorma sambil memicingkan matanya dan menunduk.
Aku membelalak tidak setuju. “Elo
aja yang lebay, adem gini di bilang panas.”
Mendengar celotehku, Noorma lebih
membelalak lagi. Ia kemudian menggeleng dengan tatapan yang meragukan kewarasanku.
Aku hanya mengkat bahu tidak peduli, dan tanpa sadar tanganku terangkat untuk
membetulkan posisi kacamata.
* * *
Bisa dibilang Aku, Noorma dan Gilang
adalah yang terbaik di angkatan kami. Kami bertiga sudah di karantina oleh
sekolah sejak kelas X. Noorma unggul di Kimia, Gilang unggul di Biologi,
sementara aku di Fisika. Kami bertiga selalu bekerjasama, saling melengkapi
dalam mengerjakan sebuah penelitian. Lomba Karya Tulis Ilmiah tentu bukan hal
yang asing bagi kami. Saat masih kelas X kami bertiga berhasil masuk 10 besar
LKTI Nasional se-pulau Jawa. Selain LKTI, proyek kami yang lain adalah
pembangunan Green House sekolah yang
berhasil di rintis satu tahun yang lalu. Respon-nya positif, sekolah sangat
mendukung penuh kegiatan kami sebagai perintis Green House.
Hari itu kelas selesai pada pukul
14.00, Noorma izin pamit tidak bisa berkontribusi melakukan penelitian
dikarenakan ibunya sakit. Akhirnya hanya aku dan Gilang yang tersisa, kami
berdua langsung pergi ke Green House.
Bangunan dari pelastik berukuran 25 x 10 m itu diisi dengan berbagai macam
sayuran mulai dari cabai, tomat, kangkung, dan masih banyak lagi. Adapun penelitian yang sedang kami
persiapkan adalah tentang pengaruh tingkat keasaman tanah pada pertumbuhan
tanaman tomat. Kami sudah menyiapkan 6 buah benih Tomat berusia 3 minggu dengan
tinggi sekitar 10 cm sebagai samplenya. Tugas kita kali ini adalah memilah
tanah yang akan di atur tingkat keasamanya dengan masing-masing pH yaitu 3, 5
dan 7.
Ditengah pekerjaan kami memindahkan
tanah ke dalam polybag, Gilang
berkata. “Biasanya kita ngerjain bertiga, rasanya aneh cuma ada lo aja.”
“Lo gak suka? Kalau gitu gue pergi
ya.” Sahutku dengan nada bercanda.
“Enggak kok, justru sebaliknya. Gue
suka.” Katanya. “Jarang-jarang gue bisa berduaan sama lo.”
Aku mengerutkan dahi. “Jangan bilang
kalau lo mau ngegodain gue!”
“Kalau iya emang kenapa?”
“Gue saranin jangan deh, gombalan lo
gak akan mempan ke gue.”
Gilang tertawa.
Aku mengakui Gilang memang menarik dan
cukup populer diantara siswa yang lain. Dia cukup tampan, pintar, rasa percaya
dirinya tinggi dan selalu berpegang teguh pada pendirianya. Sayangnya dia
sering memanfaatkan kepopulerannya itu untuk menggoda banyak perempuan, karena
itulah dia terkenal dengan julukan si tukang PHP atau Pemberi Harapan Palsu.
“Vel, kita kan udah bareng-bareng
dari kelas X. Emang lo gak ada rencana gitu buat suka ke gue?”
“Enggak!” Ketusku, tapi dengan nada
bercanda. “Gue gak mau jadi korban tukang PHP”
“Gue bukan tukang PHP Vel, mereka
aja yang baper sendiri.” Tukasnya membela diri.
“Cewek gak bakalan baper kalau
cowoknya gak caper.”
“Tapi serius Vel, kalau elo suka
sama gue, gue janji gak bakalan PHP-in lo.”
“Kenapa harus gue yang suka sama lo?
Kenapa bukan lo aja yang suka sama gue?”
Tangan Gilang yang sedang mengaduk
tanah berhenti bergerak, ia memutar bahunya dan menatap lurus ke arahku, memandangiku
lekat-lekat cukup lama, membuatku kikuk. Aku membetulkan letak kacamataku
dengan gugup lalu bergurau untuk mencairkan suasana. “Gue cuma bercanda Lang.”
“Dasar gak peka..” Keluhnya sambil
melanjutkan aktivitasnya mengaduk tanah.
Tanpa
terasa waktu berjalan semakin cepat, matahari hendak pulang ke peraduanya
dengan meninggalkan jejak jingga di langit sore. Saat itu suasana sekolah sudah
sangat sepi, aku mengekor di belakang Gilang menuju lab Biologi sambil membawa
sample tanah yang akan di uji derajat keasamanya besok pagi. Saat masuk kami
langsung disambut oleh atmosfir dingin dan kosongnya suasana lab. Disana banyak
terdapat bangkai hewan yang di air keras dalam toples, berjejer diantara dinding-dinding
lab.
“Gue
gak pernah nyatain perasaan duluan.” Kata Gilang tiba-tiba.
Aku
mengangkat alis. “Terus?”
“Tapi
kalau lo yang suka sama gue, gapapa gue yang nyatain perasaan duluan.”
Aku
memutar bola mata jengkel, Gilang masih terus menggodaku sejak tadi.
“Terus
aja godain gue, perasaan gue dari baja kualitas tinggi jadi gak gampang baper.”
Celotehku.
”Sebutin
satu alasan kenapa lo gak bisa suka ke gue? Kalau alasanya bisa diterima gue
berhenti godain lo.”
“Gue
cuma suka sama satu orang, Lang.” Akhirnya aku mengeluarkan kata-kata pamungkas
yang selalu aku gunakan setiap kali ingin menolak seseorang secara halus. “Dan
gue tipe orang yang gak bisa berhenti menyukai setelah memulainya.”
“Siapa?”
”Yang
jelas bukan lo.” Jawabku dengan nada bergurau.
Tiba-tiba
saja Gilang memutar tubuhnya dan melangkah ke arahku, membuatku hampir
terlonjak kaget dan refleks mundur. Pandangan matanya lurus menatapku
dalam-dalam. Mimik wajahnya seperti mengatakan bahwa ia tidak suka dengan
jawabanku. Gilang seperti hendak mengatakan sesuatu tapi hal itu tidak terjadi
seiring ekspresinya yang berubah secara tiba-tiba, ia nampak terkejut dan kebingungan.
Detik berikutnya ia memasang kuda-kuda dengan waspada, kepalanya bergerak ke sana
kemari mencari sesuatu. Tidak lama kemudian ekspresi Gilang berubah lagi, kali
ini tampak kentara sekali kalau dia ketakutan.
“Kenapa lang?” Tanyaku penasaran.
“Sebaiknya kita pulang sekarang Vel, sudah
hampir malam.” Kata Gilang, mengabaikan pertanyaanku.
“Tapi
masih ada 4 polybag lagi yang harus dipindahkan.”
“Besok
saja.”
Gilang
menyeretku keluar dari lab, aku bisa menangkap gerakan tangannya yang gemetar
saat mengunci pintu. Meskipun aku merasa ada yang aneh dengannya tapi aku
memutuskan untuk diam saja. Paling tidak aku sudah bisa menebak bahwa terjadi
sesuatu dengan Gilang, karena biasanya anak itu paling enggan menunda-nunda
pekerjaan, ia pasti akan selalu membereskan tugasnya sampai tuntas. Sepertinya
hal itu telah benar-benar membuat Gilang ketakutan dan merubah pikiranya dari
yang biasa ia lakukan.
* * *
Malam setelah aku tertidur, tiba
tiba saja aku sudah berada di tempat lain berupa hutan dengan jejeran pohon
akasia berdaun rindang dan gelap. Tubuhku berlari dengan balutan gaun putih
yang menjuntai sampai mata kaki. Aku bosan melihat scene ini, terus menerus berulang setiap malamnya. Dan seperti
malam-malam sebelumnya, setelah menyaksikan tubuh seseorang menjatuhkan diri
dalam kobaran api, aku terbangun dengan kondisi mata sembab dan air mata yang
terus mengalir tiada henti. Dada yang sesak karena sakit hati tanpa alasan
membuatku beranjak dari tempat tidur menuju jendela. Aku menyukai terpaan angin
malam dari jendela yang sengaja ku buka, aromanya selalu mengirimku ketenangan.
* * *
Pagi yang tenang hari ini terganggu
oleh kesibukanku saat membereskan buku-buku pelajaran. Bel sudah berbunyi
nyaring sekitar 2 menit yang lalu dan aku masih bergelut di dalam kamar. Aku
mengenakan kacamataku sebelum melirik ke arah jam dinding yang menggantung di
salah satu tembok. Saat melihat jarum jamnya menunjukan pukul setengan delapan
lebih, detik itu juga aku dilanda kepanikan. Akhirnya ku putuskan mengambil
jalan pintas dengan menenteng sepatuku, mengabaikan penampilanku yang masih
berantakan dan segera menuruni tangga untuk pergi ke sekolah. Gara-gara mimpi
bodoh itu aku jadi sering bangun kesiangan.
Berkat gerakan cepat kaki pendek-ku,
aku tiba di sekolah tepat sebelum gerbang di tutup. Aku langsung berlari menuju
kelas, mengabaikan tatapan mata yang mengikutiku dengan pandangan risih. Di
koridor lantai tiga aku berpapasan dengan Gilang, ia menghentikan langkahku dan
berdecak sambil menggeleng saat melihat penampilanku dari ujung rambut hingga
ujung kaki.
“Lo ke sekolah nyeker Vel? Kenapa
sepatunya gak di pake dulu?” Tanya Gilang.
“Gak sempet Lang, tadi gue
buru-buru.” Jawabku di antara nafas yang tersengal-sengal berkat lari marathon
dadakan pagi ini. “Akhir-akhir ini gue sering bangun kesiangan.”
“Coba pake dulu sepatunya sebelum
masuk ke kelas.” Pinta Gilang
Aku menurut, menurunkan sepasang
sepatu yang ku tenteng dari kostan kemudian mengeluarkan kaus kaki. Gilang
membantuku mengikatkan tali sepatu.
“Sabuknya jangan lupa juga di pake.”
Komentar Gilang.
Aku hampir saja melewatkannya kalau
saja tidak di ingatkan Gilang, segera ku ambil sabuk hitam itu dari dalam tas
dan mengenakanya.
Selesai dengan urusan tali sepatu,
Gilang bergerak ke belakang. Terakhir aku mengetahui ternyata dia berusaha
merapikan rambutku dan mengikatnya. Kalau saja aku ini seperti kebanyakan
perempuan yang di goda Gilang, aku pasti sudah luluh oleh sikap manisnya.
“Kalau dilomba KTI kali ini kita
menang, pokoknya lo harus suka ke gue ya.” Kata Gilang. “Gue bisa ngurus lo
dengan baik.”
Aku yang masih sibuk dengan urusan
sabuk sontak menghentikan gerakan. Aku benci topik ini dan ingin segera
mengalihkan pembicaraan.
“Lang, sebenarnya gue penasaran
tentang kemarin sore. Lo gak bisa bohong, pasti ada sesuatu yang terjadi.”
Ujarku, berusaha memancing Gilang mengubah arah pembicaraan.
Gilang diam sebentar, seperti
menimang sesuatu. “Emang kemarin lo gak denger atau liat sesuatu yang aneh di
lab Biologi?” Tanya Gilang.
Setelah selesai dengan urusan sabuk
dan ikat rambut, aku memutar badan dan berhadapan langsung dengan Gilang.
“Enggak kok, emang ada apa? Gue penasaran banget.”
“Pas kemarin masuk ke lab perasaan
gue udah gak enak, di sana gue ngeliat ada bayangan anak kecil yang
mondar-mandir. Tapi gue gak ngomong apa-apa khawatir lo bakalan parno.” Jelas
Gilang.
Aku
membetulkan posisi kacamataku saat mendengar penuturanya. “Terus?”
“Pas kita lagi ngobrol ada suara
cekikian di belakang gue, makin lama makin kenceng. Yakin lo gak denger apa-apa
waktu itu?”
Aku mencoba mengingat-ingat lagi
kejadian kemarin, kemudian menggeleng sebagai jawaban. “Gue beneran gak denger
apa-apa, Lang.”
“Padahal suaranya kenceng banget.
Pantesan respon lo biasa aja.”
Aku terdiam untuk berfikir, menimang
semua kemungkinan rasional yang bisa menjelaskan penyebab kejadian kemarin.
“Udah ah jangan terlalu di ambil pusing.
Kita harus fokus ke LKTI, jangan ke yang lain.” Ucap Gilang menghentikan pikiranku
berselancar.
Aku mengangguk membenarkan ucapanya.
* * *
2 bulan kemudian tepatnya pada bulan
September, langit Kota Tasik senantiasa ditemani awan mendung hampir di setiap
harinya. Tapi ada sesuatu yang istimewa dari September kali ini, karena sebuah
kabar baik perihal LKTI datang kepadaku, Noorma dan Gilang. Tim kami dinyatakan
lolos seleksi ke tahap semi final dan diundang ke kantor wali kota untuk mempresentasikan
hasil penelitian yang kami lakukan.
Dan
hari ini pun lagi-lagi aku bangun kesiangan. Aku berlari menuju sekolah
diantara gerimis tipis yang menemani pagi. Namun naas, gerimis itu berubah
menjadi hujan lebat sebelum aku sempat mencapai lobi. Karena sudah nyaris
sampai aku pun memaksakan diri menembus hujan lebat itu dengam berlari-lari,
dan akhirnya sampai di lobi dengan sedikit basah kuyup.
Noorma
langsung menghambur ke arahku begitu aku sampai ke kelas.
“Yang
tadi siapa Vel?” Tanyanya dengan mata berbinar.
Aku
mengerutkan dahi heran “Tadi siapa apanya?”
“Jangan
pura-pura bego deh, Itu loh yang tadi pake matel merah lari ke loby bareng lo.”
Aku
semakin terheran-heran. “Gue ke loby sendiri kok Noor.”
“Lo
gak usah bohong, gue bisa liat dari jendela kok.” Noorma bersikeras. “Cielah
mesra banget dipayungi segala pake mantelnya.”
Aku
memijit kepalaku yang sebenarnya tidak apa-apa. “Masih pagi jangan bikin gue
bingung, Noor. Gue sama sekali gak ngerti sama apa yang lo omongin.”
“Oh
jadi sekarang lo mau rahasia-rahasiaan sama gue?”
Aku
sungguh putus asa menghadapi Noorma yang keras kepala. Untunglah ada Gilang
yang secara tidak langsung datang menyelamatkanku.
“Ayo
cepat kita harus berangkat sekarang!” Kata Gilang.
“Kemarin
bilangnya jam 10.00” Protes Noorma.
“Pak
Bambang bilang kita berangkat sekarang aja, soalnya dia mau menemui dulu
saudaranya yang kebetulan jadi juri LKTI.”
“Kalau
begitu gue fotocopy laporanya dulu ke perpus.” Ucapku.
Gilang mengangguk. “Noorma siapin
alat dan bahan yang perlu dibawa, gue mau ngerapihin slide powerpoint buat
persentasi kita nanti.”
Kami bertigapun berpisah untuk
mengerjakan tugas masing-masing.
* * *
Aku memang sudah tidak asing dengan
persentasi karya ilmiah. Tapi tetap saja selalu merasa gugup. Untunglah
diantara kami bertiga ada Gilang yang paling bisa mengendalikan rasa gugupnya,
ia selalu menyemangatiku dengan sifat optimisnya.
Ketika sedang menunggu giliran untuk
presentasi, tiba-tiba Noorma datang dengan wajah cemas. Ia lalu berkata “Teman-teman,
maaf. Sepertinya ada yang tertinggal.”
Aku membelalak kaget. “Apa yang
tertinggal Noor?”
“Buah tomat hasil penelitian kita, sepertinya
tertinggal di Green House.”
“Gawat, itu kan senjata pamungkas
kita untuk menang.” Gilang ikutan cemas.
Noorma menundukan kepalanya.
“Maafkan aku, seharusnya aku lebih teliti lagi. Aku akan mengatakan ini pada
pak Bambang untuk meminta solusi”
“Sudah tidak ada waktu lagi, kita
harus kembali ke sekolah untuk membawa buah tomatnya. Penelitian kita akan
sia-sia tanpa bukti yang bisa kita perlihatkan.”
Bukti yang dimaksud Gilang adalah
perbandingan buah tomat yang di tanam di media tanah pH 3, 5 dan 7.
Noorma menggigit bibirnya. “Kendaran
di parkiran sudah mulai padat, mobil sekolah kita tidak bisa keluar.”
Gilang menggaruk kepalanya, tampak
frustasi.
“Kita cari motor.” Usul Gilang. “Ayo
Vel ikut aku kita kembali ke sekolah.”
“Noor aku titip kondisi disini ya,
sebentar lagi nomor undian kita. Kalau aku dan Gilang belum kembali lakukan apa
saja yang bisa mengulur waktu.” Kata-ku.
Noorma mengangguk paham, detik
berikutnya aku dan Gilang melesat pergi secepat yang kami bisa. Gilang
mondar-mandir mencari motor yang bisa kami pinjam, untung saja ada tukang
parkir di sana yang berbaik hati meminjamkan motornya.
Gilang dengan gagah menaiki motor
itu, kemudian menstarternya. Seketika mesin sepeda motor menderu halus. Aku mematung
di dekat Gilang dengan perasaan ragu-ragu.
“Ayo naik Vel..” Perintah Gilang.
“Kita gak pakai helm Lang?” Tanyaku
ragu.
“Tenang saja, gue tau jalan tikus
menuju sekolah. Kita tidak akan ketahuan polisi.”
“Tapi Lang…”
“Ayo cepat.” Gilang memotong
ucapanku. “Kita harus buru-buru.”
Karena desakan Gilang akhirnya aku
naik ke motor tersebut dengan perasaan bimbang, di dalam pikiranku terus terbesit
untuk memakai helm.
* * *
Siang itu langit Bogor tampak gelap,
Gilang memacu motornya membelah jalanan Kota Bogor dengan kecepatan tinggi. Gerismis turun tepat ketika kami
hampir sampai di sekolah. Gilang semakin menambah kecepatanya, tapi saat itu
tiba-tiba saja mobil minibus di depan kami berhenti secara mendadak.
Aku tau Gilang berusaha menginjak
rem motor, tetapi laju motor terlalu cepat dan Gilang tidak bisa menguasainya.
Akhirnya tabrakan itu tak terelakan lagi, menimbulkan suatu dentuman keras yang
memekakan telinga, motor yang ditumpangi kami menabrak bember minibus hitam di
depan kami. Kecelakaan itu berlangsung sangat cepat dan tidak terduga, aku
hanya memejamkan mata saat itu terjadi. Aku merasakan tubuhku terpental ke
depan dan menabrak sesuatu, lalu jatuh di tanah beraspal.
Aku mengecek kaca mata yang masih
bertengger aman di hidungku, lalu bangkit berdiri untuk melihat keadaan di
sekitar. Detik berikutnya orang-orang datang mengerumuniku dan membopongku ke
pinggir. Karena kejadianya dekat sekolah, banyak siswa sekolahku yang
menghambur ke tempat kejadian dan ikut mengerubuniku. Kondisiku baik-baik saja,
tidak ada yang lecet, aku bahkan bisa berdiri untuk mencari Gilang. Aku
mengkhawatirkanya.
* * *
Karena kecelakaan tersebut, kami
terpaksa harus merelakan lomba karya tulis ilmiah yang sudah kami persiapkan
selama berbulan-bulan. Semuanya seakan sia-sia, usaha kami, perjuangan kami,
sayang sekali padahal kami hanya tinggal selangkah lagi. Tapi di balik semua
itu, aku sangat bersyukur kecelakaan tersebut tidak menimbulkan masalah yang
serius. Luka Gilang tidak terlalu parah, ia hanya benjol di bagian kepala
akibat benturan dengan bagian belakang minibus. Pelipis, siku dan lutunya juga
berdarah saat jatuh ke aspal. Untung saja semua itu sudah diatasi dengan baik
oleh petugas ambulans yang datang ke tempat kejadian. Mereka bilang tidak ada
yang perlu dikhawatirkan dan Gilang juga tidak perlu di rawat di rumah sakit.
Noorma
tidak hentinya menyalahkan diri sendiri, ia merasa karena keteledoranya lah
semua itu terjadi. Bukan hanya Noorma, Gilang yang sudah sadar dari pingsannya
juga menyalahkan dirinya sendiri. Gilang merasa ia seharusnya lebih hati-hati
saat mengendarai motor dalam keadaan segenting apa pun. Aku berdiri diantara
mereka berdua untuk menengahi.
“Kita lupakan saja lomba itu, jangan
ada lagi yang membahasnya.” Kataku dengan intonasi tegas.
“Tapi kamu beneran gak apa-apa,
Vel?” Gilang kembali memastikan. Ia menelisik wajahku lebih lama. Aku langsung
menggeleng sebagai jawabanya.
“Yakin?
Soalnya itu kelopak mata kamu kelihatanya bengkak.” Gilang menunjuk mata
kiriku.
Noorma menyodorkan sebuah cermin
kecil yang biasa ia simpan di saku. Aku melepas kacamata dan melihat bayangan
wajahku dari pantulan cermin. Aku agak terkejut
saat mendapati di kelopak mata sebelah kiri, tepatnya di bawah alis, ada
tanda keunguan dan bengkak di sekitanya.
“Pasti gara-gara tadi ngebentur
belakang mobil ya..” Kata Noorma. “Beruntung banget pas kejadian tadi lo lagi
gak pake kacamata. Kalau sampai lo nubruk mobil pake kacamata dan kacamatanya
pecah, terus pecahan kacanya kena mata lo, kan bisa parah banget.”
Aku mengerenyit, lalu berfikir
sejenak. “Gue pake kacamata kok Noor.”
“Mungkin pas kecelakaan tadi
kacamatanya gak sengaja jatuh.” Kini Gilang yang bersuara.
“Gue yakin banget kacamata gue gak
jatuh, soalnya pas kejadian tadi gue ingat sempet ngecek kacamata gue.”
Gilang dan Noorma saling berpandangan,
tampak sama-sama bingung.
“Terus gimana ceritanya kelopak mata
lo bisa bengkak sementara kacamatanya baik-baik aja bahkan utuh?” Celoteh
Gilang sambil mengambil kacamataku dan membolak-baliknya.
“Bener Vel, mungkin tadi lo kaget
banget jadi lupa.”
“Gue serius dan yakin 100%” Kataku
masih kekeh dengan pendapatku.
Gilang dan Noorma berpandangan lagi,
dari ekspresi mereka aku bisa mengetahui bahwa mereka tidak mempercayai
kata-kataku.
“Oke, terserah kalian mau percaya
atau enggak. Karena selain kalian, gue juga ngerasa ini aneh banget. Mana
mungkin kelopak mata gue bisa bengkak sementara kacamatanya baik-baik aja.”
Ucapku pada akhirnya.
“Gak usah terlalu dipikiran Vel.”
Kata Noorma dengan nada menenangkan. “Anggap saja tadi kacamata lo jatuh, cuma
lo gak sadar soalnya panik.”
Sebenarnya ini bukan kecelakaanku
yang pertama. 10 tahun yang lalu aku mengalami kecelakaan yang lebih parah dari
ini, kecelakaan itu merenggut nyawa kedua orang tuaku. Aku tidak terlalu ingat
kondisiku saat kecelakaan yang pertama, namun kecelakaan yang barusan sama
sekali tidak memberikan efek apa-apa terhadapku. Aku tidak mengalami serangan
panik, tubuhku tidak gemetar usai kejadian, aku sangat baik-baik saja sampai
aku mampu bangkit tanpa bantuan, aku bahkan tidak ingat bagaimana kelopak
mataku bisa bengkak. Aku tidak yakin bahwa tadi aku membentur bagian belakang
minibus, rasanya terlalu tenang. Tapi semua itu tidak ku ungkapkan kepada
Gilang dan Noorma, karena hal itu pasti akan membuat mereka semakin kebingungan
dan pada akhirnya menganggapku aneh.
Peristiwa itu mengganggu pikiranku
selama berhari-hari. Aku terus memikirkan hal paling rasional yang bisa
menyebabkan mataku bengkak sementara kacamatanya baik-baik saja. Aku sudah
mencoba mereka ulang kecelakaan itu dengan menjadikan dinding kamarku sebagai
bagian belakang minibus. Saat aku membenturkan kepalaku ke dinding, aku
mendapati dinding itu tidak bisa mencapai kelopak mataku tanpa menghancurkan
kacamata yang aku kenakan. Bagaimana pun caranya, dari mana pun arahnya,
kacamata akan selalu menjadi tembok penghalang untuk bisa sampai ke kelopak
mata. Sebenarnya kacamataku itu adalah barang biasa dan bukan merk terkenal,
aku membelinya di sebuah toko optik dekat sekolah dengan harga standar.
Bingkainya terbuat dari plastik, dan tentu saja bisa patah jika terkena
benturan keras.
* * *
Aku berdiri di tepi jendela,
menikmati paparan angin malam yang saat itu terasa begitu menenangkan. Malam
ini aku tidak bisa tidur karena banyak hal yang kupikirkan. Kepalaku juga
dipenuhi dengan ratusan pertanyaan yang aku sendiri tidak tahu kapan
pertanyaan-pertanyaan ini mendapatkan jawabanya, jika memang ada.
Selama
ini aku percaya setiap masalah memiliki penjelasan rasional, tapi akhir-ahir
ini kepercayaanku itu mulai menipis. Aku tidak bisa memecahkan beberapa masalah
yang terjadi kepadaku, bagaimana pun aku memikirkannya tetap tak kudapatkan penjelasan
yang masuk akal. Contohnya seperti keanehan Davina yang oleh tante Tina malah
dilemparkan kepadaku. Lalu si mantel merah yang pernah dilihat Noorma. Belakangan
aku tau Noorma tidak berbohong karena sampai saat ini dia masih ngotot
menanyakan tentang dia. Lagi pula apa gunanya dia berbohong untuk hal semacam
itu. Dan terakhir adalah yang paling aneh, yaitu kecelakaan yang membuat mataku
bengkak tetapi kacamataku baik-baik saja.
Saking putus asanya tanpa sadar aku
bergurau. “Jika memang tidak ada penjelasan rasional dari semua yang terjadi
kepadaku, aku harap seseorang bisa memberiku jawaban dari semua keanehan ini.”
Saat malam merangkak semakin larut
aku pun tertidur, dan bermimpi aneh. Mimpiku agak berbeda dari malam-malam
sebelumnya, kali ini latarnya adalah kamarku. Aku melihat tubuhku
menggeliat-geliat dalam tidur, ia tampak resah dan ketakutan, nafasnya memburu
seperti dikejar sesuatu, dan ia menangis dalam tidurnya. Tangisanya masih
berlanjut bahkan saat dia sudah bangun. Kemudian tubuhku itu turun dari ranjang
dan membuka jendela kamar lebar-lebar. Ternyata tanpa diketahui oleh tubuhku, seseorang
telah berdiri di sana tepat dihadapanku. Dia mengenakan mantel merah dengan
bagian lengan seperti kerucut yang melebar ke bawah. Warnanya sangat mengkilap
bagai kain satin. Sedangkan kepala orang
itu ditutupi bagian mantel menyerupai hoodie.
Orang
itu kemudian mengangkat tanganya yang pucat, sisa kain menjuntai dibawah
lenganya. Ia mengelus kepalaku dengan lembut sampai aku berhenti menangis.
Melihat adegan itu membuatku terkesiap, selama ini aku tidak pernah menyadari
kehadiran seseorang di depan jendelaku, aku juga tidak tau bahwa dia senantiasa
menenangkanku ketika menangis, yang aku tau hanya hembusan angin malam saja yang senantiasa memberikan ketenangan
kepadaku.
Seperti
sebuah slide film yang berganti. Kali
ini saat upacara bendera yang membosankan. Aku dan Noorma yang berdiri bersebelahan sering
berbisik-bisik.
“Sumpah hari ini panas banget..”
Keluh Noorma sambil memicingkan matanya dan menunduk.
Aku membelalak tidak setuju. “Elo
aja yang lebay, adem gini di bilang panas.”
Mendengar celotehku, Noorma lebih
membelalak lagi. Ia kemudian menggeleng dengan tatapan mengejek, tampak
meragukan kewarasanku.
Aku ingat pernah mengalami hal itu, membahas pembicaraan tersebut
dengan Noorma. Sekarang aku baru paham kenapa kami memiliki perbedaan pendapat.
Hal itu terjadi karena tubuh Noorma terpapar langsung sinar matahari, sementara
tubuhku dilindungi oleh mantel merah yang sengaja diangkat tinggi-tinggi oleh
seseorang. Dan lagi-lagi dia adalah si mantel merah penghuni jendela kamarku.
Scene
berganti lagi, selanjutnya
adalah lab biologi di hari
saat aku dan Gilang membawa
tanah untuk diuji derajat keasamannya. Dan aku baru menyadari, ternyata pada
hari itu tidak hanya ada aku dan Gilang, si mantel merah juga ada di sana
sedang berdiri di antara kami. Aku menarik ucapanku tentang si mantel merah
penghuni jendela kamarku, sepertinya dia tidak hanya muncul di jendela tetapi
bisa muncul di mana saja di semua tempat yang dia inginkan.
Saat
aku dan Gilang sedang mengobrol, di waktu yang sama si mantel merah menghilang,
dan kembali bersama seorang anak kecil botak yang hanya mengenakan bawahan
berwarna putih. Si mantel merah membisikan sesuatu pada bocah kecil itu, si
bocah kemudian mengangguk lalu berlari-lari mengitari laboratorium dengan tawa
lebar yang menyeramkan. Sementara itu si mantel merah menghampiri tubuhku,
membuat kami berhadapan dalam jarak yang sangat dekat. Perlahan kedua tanganya
terangkat menutupi kedua telingaku sehingga aku tidak bisa mendengar apa-apa.
Dari scene ini aku baru menyadari
perbedaan tinggi diantara kami sangat jauh, tubuhku hanya sebatas di bawah
bahunya.
Tepat
ketika Gilang mendekat ke arah tubuhku, ia mendengar derap lari di sekitar
laboratorium. Ia lebih
terkejut dan kebingungan saat mendengar tawa anak kecil yang menggema di
seluruh ruangan, Gilang memasang
kuda-kudan dengan tatapan mata bergerak ke sana kemari mencari asal suara tapi ia tak menemukan apa pun. Saat itulah ekspresi wajahnya
berubah menjadi ketakutan.
“Kenapa
lang?” Tanya tubuhku.
“Sebaiknya kita pulang sekarang Vel, sudah
hampir malam.” Kata Gilang, mengabaikan pertanyaanku.
“Tapi
masih ada 4 polybag lagi yang harus dipindahkan.”
“Besok
saja.”
Akhirnya
satu kejadian aneh yang tak memiliki penjelasan rasional mulai terjawab. Aku
sangat terkejut karena jawaban yang ada ternyata sangat jauh dari perkiraanku
selama ini.
* * *
Latar scene kali
ini adalah pemandangan sekolahku di tengah gerimis, aku melihat tubuhku berlari
menuju sekolah. Saat hampir mencapai lobi, gerimis berubah menjadi hujan lebat
dan di saat yang sama muncul si mantel merah, ia mengangkat tinggi-tinggi
tanganya untuk melindungiku dari guyuran hujan lebat dan lari bersamaku.
Setibanya di kelas Noorma langsung
menodongku dengan pertanyaan. “Yang tadi siapa Vel?”
Aku yang tidak tau apa-apa balik
bertanya karena kebingungan. “Tadi siapa apanya?”
Ternyata benar, dia lah si mantel
merah yang dilihat oleh Noorma. Entah kenapa melihat dia lari bersamaku dari scene itu membuatku merasa ia selalu ada
disekitarku. Dia muncul dimana saja aku berada. Apa mungkin yang pernah
dikatakan tante Tina itu benar? Seseorang tak kasat mata selalu mengikutiku
kemana-mana, dan dia adalah si mantel merah. Pikiran itu membuatku lebih
penasaran padanya, aku ingin mengetahui lebih banyak tentangnya. Aku penasaran
dengan wajahnya yang selalu sukses di lindungi hoodie mantelnya.
Scene berganti lagi. Kali ini saat aku
berada di IPB tepat pada hari lomba karya tulis ilmiah. Aku dan Gilang sedang
berbicara dengan tukang parkir yang meminjami kami motor. Si mantel merah hadir di
dekatku sambil menunjuk-nunjuk ke arah sesuatu, yang belakangan aku tahu bahwa
dia menunjuk sebuah helm. Saat Gilang menaiki motor dan mulai menyalakan mesin,
si mantel merah mulai berteriak-teriak.
“Pake helm, Vel..” Suaranya
terdengar putus asa. “Kumohon pakailah helm.”
Tubuhku mengabaikan teriakan itu dan
malah menaiki motor Gilang.
Scene
di percepat dan berhenti di detik-detik kecelakaan yang menimpa kami. Tepat
ketika motor yang dikemudikan Gilang menabrak bagian bemper minibus, tubuhku
terpental kedepan dan kepalaku nyaris menghantam kaca belakang minibus. Untung saja si mantel merah muncul
tepat waktu, dia menangkap tubuhku dan mendarat di tanah beraspal dengan
selamat. Saat itu terjadi hoodie mantelnya terbuka, aku sangat antusias saat
bagian kepalanya terekspos. Akhirnya aku tau dia memiliki rambut berwarna
coklat terang, beberapa helai rambut menjuntai diantara dahinya. Matanya bening
dengan bola mata biru yang cerah. Hidungnya runcing, bibirnya tipis, dan rahangnya
berbentuk lancip. Kesimpulanya, dimataku dia adalah seorang bule dengan fisik
yang sempurna.
* * *
Scene
terkahir adalah scene yang paling aku
hafal. Saking hafalnya dengan scene
ini, aku bahkan dapat menghitung jumlah pohon akasia yang menjulang tinggi
berdaun rindang dan gelap di sana.
Meskipun aku sudah tau kelajutan mimpiku tapi aku tetap tak bisa menghentikan
atau merubah jalan ceritanya. Tubuhku seperti bukan milikku sendiri, ia
mengikuti alur cerita yang sudah jelas bagaimana akhirnya.
Semua scene
dari mimpiku tetap sama. Tapi ada satu hal yang berbeda, yaitu saat aku
memanggil-manggil namanya dengan putus asa, kali ini terdengar jelas suara dari bibirku meneriakan nama. “PETRA….. PETRA…..”
Retina mataku menangkap seorang lelaki
berkulit putih, berambut coklat terang dengan bola mata biru cerah yang bening,
menjatuhkan diri ke dalam kobaran api. Aku semakin histeris dan meronta-ronta
di dalam pelukan seseorang. Aku merasakan kepedihan yang amat mendalam, rasa
kehilangan luar biasa yang mencabik-cabik hatiku sampai rasanya tidak ingin
lagi menghadapi dunia dan kenyataan.
Di sisi lain pada diriku, begitu terkesiap saat mengenali wajah orang yang
menjatuhkan diri ke dalam api. Dia tidak lain adalah si mantel merah, dan bisa
ku simpulkan bahwa mimpiku itu ternyata ada hubunganya dengan dia.
Aku terisak dalam tidurku, sampai
aku bangun pun tangisanku tidak berhenti. Rasanya ada suatu bongkahan besar
yang menahan dadaku sehingga membuatnya sesak, sangat sesak sampai aku tidak
bisa bernafas. Aku bergegas turun dari ranjang, menghambur ke arah jendela dan
berharap akan menemukan seseorang di sana. Saat aku membuka daun jendela
lebar-lebar, aku sangat bahagia karena si mantel merah sudah berdiri tepat di
hadapanku, ia sudah menunggu lama di luar jendela kamarku. Bola matanya yang
biru cerah memandanganku dengan tatapan hangat. Tapi entah kenapa tangisanku malah
semakin menjadi. Dia hanya tersenyum lalu mengangkat tanganya dan mengelus
rambutku dengan lembut sampai tangisanku berhenti.
Setelah
bisa mengendalikan diri, aku langsung menanyakan hal yang paling membuatku
bingung. “Aku tidak tau
kenapa aku harus sesedih ini saat melihatmu jatuh ke dalam api. Aku bahkan
tidak tau identitasmu, sebenarnya kamu siapa?”
Si
mantel merah atau mungkin bisa ku panggil Petra, memulai ceritanya. “Dulu
sekali, aku berlayar ke tempat yang sangat jauh dari rumahku. Tempat itu adalah
sebuah kerajaan kecil di negeri tropis yang makmur. Rajanya memiliki putri yang
cantik jelita dan kami saling jatuh cinta. Namun ternyata cinta kami membawa
petaka bagi kerajaan makmur itu. Ada seorang raja yang pernah sang putri tolat
cintanya, mengirimkan sihir
berupa kutukan keji dimana sang putri dan seluruh keturunan perempuanya akan
mati di tangan cinta sejatinya.”
Suaranya
begitu lembut, aku mendengarkan
setiap kata yang dia ucapkan dan lama-lama aku tertarik. Lebih pada ketertarikan
seorang anak kecil saat ia mendengarkan sebuah dongeng.
Petra
menarik nafas sebelum melanjutkan ceritanya. “Tak lama kemudian muncul gejolak dan peperangan,
orang-orang dari tempat asalku menghancurkan kerajaan milik
sang putri dan merampas semua
kekayaan alamnya. Hal yang terparah, mereka memaksaku membunuh sang putri
dengan tanganku sendiri.” Ada kesedihan mendalam dari kalimat
terakhirnya. “Tanpa kami sadari
kutukan itu memang benar-benar terjadi.”
. “Lalu apa
kau membunuhnya?” Tanyaku, lebih pada rasa penasaran
terhadap kelanjutan sebuah dongeng.
Petra
menggeleng. “Aku melindunginya. Aku tak pernah sanggup menyakitinya apalagi
membunuhnya. Ku korbankan jiwaku kedalam kobaran api agar ruh ku bisa
melindunginya dan melindungi semua keturunan perempuannya dari kutukan keji
itu.”
Suara
Petra menggantung, lalu melanjutkan beberapa detik setelahnya. “Dan tak ku sangka, aku bertemu dengan reinkarnasinya
tepat di keturunan yang ke 100.”
Petra
menatapku dengan pandangan yang sulit diartikan, lalu bibirnya yang tipis
mengucapkan kata. “Aku tidak pernah menyadarinya sampai kau berusia 17 tahun.
Vellove, kamulah reinkarnasi sang putri yang sangat aku cintai.”
Aku
terkesiap, jantungku berdetak cepat, perasaanku tidak karuan.
“Mimpi
yang berulang setiap malam adalah tanda bahwa kau memang dia. Tapi aku tak
pernah menginginkan mimpi itu membawa kesedihan untukmu, aku ingin kau selalu
bahagia, jadi kumohon mimpikan lah sesuatu yang menyenangkan. Aku akan selalu
ada disampingmu, menemanimu, menjagamu, meskipun kau tak mengetahuinya.”
Sosok
Petra dalam pandanganku tiba-tiba saja mengabur. Aku mengerejapkan mata dan
ternyata aku mendapati diriku berada di atas ranjang, masih bergelung dengan bantal dan selimut yang
senantiasa menemaniku tidur. Kejadian tadi terlalu nyata untuk sebuah mimpi.
Detik itu juga aku menghambur ke arah jendela dan langsung membukanya
lebar-lebar, berharap akan menemukan seseorang disana. Tapi aku tak menemukan
sosok itu lagi dihadapanku, hanya tampak langit gelap dengan bulan berwarna
kuning pucat mengapung di angkasa. Angin malam berhembus menerpa
kulitku, membuat helaian rambutku menari-nari. Ada sedikit ketenangan yang
kudapat dari desiran angin malam itu, dan kali ini aku langsung menyadari bukan
hanya angin yang memberiku
ketenangan. Tapi sosok Petra yang saat ini sedang mengelus rambutku,
memandangku dengan tatapan yang hangat dengan bola mata birunya yang bening.
Tanpa sadar aku tersenyum.
“Aku tau
kau disini.” Ucapku. “Terimakasih sudah menjagaku selama ini, Petra.”
Selesai