Diberdayakan oleh Blogger.

Popular Posts

Weekly post

The Red Coat

The Red Coat
Hari Minggu yang panas di bulan Juli. Siang itu langit Tasikmalaya nampak biru bersih dengan Matahari menjadi satu-satunya ornamen di angkasa. Aku membetulkan letak kacamata minusku yang bertengger di hidung, bersandar menikmati aroma angin dari balik jendela kamar tanpa teralis dengan satu penyekat di bagian tengahnya.
Seorang perempuan pertengahan 30 yang kupanggil tante Tina menerobos kamarku sambil menggendong putrinya. Kudapati wajah memelasnya ketika dia mendatangiku. “Tolong jaga Davina sampai tante kembali ya Vell, tante percayakan dia sama kamu. Davina suka rewel kalau dibawa ke kondangan “
Aku memutar bola mata, berfikir beberapa saat sebelum meng-iyakan. “Tapi jangan lama ya tanteu, aku suka parno kalau Cuma berdua sama Davina di rumah.”
            Davina yang masih berusia 2 tahun mengacuhkan percakapan kami dan memilih asyik dengan boneka barbie di tanganya. Tante Tina meraihnya dan menghujaninya dengan ciuman sebelum diambil alih olehku.        
“Tante akan segera kembali kalau acaranya sudah selesai.” Ucap tante Tina lalu bergegas pergi, kentara sekali kalau ia buru-buru.
           “Davina hari ini main nya sama Kak Vell dulu ya, tapi Davina jangan aneh-aneh.” Ujarku hati-hati.
Davina tidak menggubrisnya, ponakan kecilku itu malah larut lagi dalam dunianya bersama boneka Barbie. Lantas aku mendudukan dia di atas tempat tidur dan merebahkan diri disampingnya. Aku meraih ponsel yang tak jauh dari tempat tidurku, karena Davina juga asyik dengan dunianya aku pun mengotak-atik ponsel dan larut untuk beberapa saat.
Untuk beberapa saat kamarku sangat tenang, sampai akhirnya Davina memecah keheningan kamarku dengan tawa renyahnya. Ia tertawa dengan cara seperti saat aku sedang melakukan lelucon konyol untuk menghiburnya. Boneka Barbie yang sejak tadi asyik dimainkannya kini tergeletak tepat di ujung kaki, sudah tak menarik lagi bagi dia. Jelas bukan boneka itu alasan yang membuat Davina tertawa.
Aku hampir terlonjak mendengar tawa renyahnya, ku simpan ponselku dan menatapya dengan was-was. “Davina ngetawain apa?” Tanyaku lembut.
Dengan tawa yang masih tersisa dibibirnya Davina menunjuk jendela. Aku mengikuti arah telunjuknya dan hanya mendapati udara kosong, tidak ada apa-apa disana. Namun karena penasaran aku turun dari tempat tidur, melangkah semakin dekat ke jendela.  Tetap tidak ada hal lain yang tampak disana kecuali genteng rumah yang berpetak-petak dan langit biru cerah yang membentang sepanjang mata memandang. Dari sana perasaanku mulai tidak enak, jangan-jangan Davina memulai lagi keanehanya.
“Hahahaha…. Hahahaha.. Lagi.. Lagi…”
Aku melirik ke arah Davina, ia masih menatap jendela dengan pandangan tertarik. Karena ini bukan kali pertama Davina seperti ini, aku kembali ke tempat tidur, mengabaikan tingkah anehnnya dan memilih memeriksa ponselku. Lagi-lagi aku membetulkan posisi kacamataku, hal ini seperti sudah jadi kebiasaan, kadang aku tak sadar saat melakukanya.
“Iiiiii jijik iiiiii”
Aku tertegun saat Davina meracau lagi. Kini pikiranku mulai kacau membayangkan sesuatu yang tak bisa ku lihat sedang bermain denganya. Tetapi aku berusaha menguatkan diri dengan memfokuskan pikiran pada isi ponselku.
“Ahahah.. Melaah.. ambutnya.. melah…” (Merah, Rambutnya merah)
Hancur. Aku sudah mencoba menguatkan pikiranku yang kacau namun pada akhirnya tetap gagal. Aku tidak bisa menahan bayangan negatif dalam kepalaku, bayangan itu dengan jelas menggambarkan seseorang berambut merah muncul dari arah jendela lalu menghibur ponakan kesayanganku yang memang aneh. Detik itu juga rasa takut menyeruak, bulu kuduk-ku merinding, badanku lemas. Tetapi aku berusaha bangkit untuk meraih Davina dan menggendongnya pergi dari kamarku. Sebisa mungkin aku tidak melihat ke arah jendela, meski begitu aku merasa seseorang  berdiri disana menatap kepergian kami dengan kecewa.
Setibanya di ruang tamu aku segera menelepon tante Tina. “Hallo tante, cepet pulang ya. Davina mulai aneh lagi, Vellove takut.”
“Ya ampun Vel, ini tante nyampe juga belum.” Sahut tante Tina dari sebrang sana.
“Pokoknya aku gak mau tau, tante cepet pulang ya!” Tanpa menunggu jawaban dari tante Tina aku sudah lebih dulu menutup teleponya. Tanganku masih gemetar, sementara Davina hanya memandangku dengan tatapan polos.
Beberapa saat kemudian Davina merengek meminta boneka Barbie nya yang ketinggalan di kamarku, tapi aku masih enggan kembali kesana. Bayangan sesuatu yang menyeramkan sedang menari-nari di kepalaku, rambutnya berwarna merah, dan mengajak Davina bermain melalui jendela kamar. Aku sangat paham bukan kamarku letak keanehanya, tapi pada diri ponakan kecilku ini. Dia sering bertanya tentang seseorang padaku, Itu ciapa? Kak Vell itu ciapa? Tapi aku sendiri tidak bisa menjawabnya karena memang tidak ada siapapun pada arah yang di tunjuk Davina. Awalnya aku pikir itu hanya imajinasi anak kecil saja.
Tapi lama kelamaan Davina membuatku takut. Sewaktu-waktu dia akan mengajak masuk seseorang ke dalam rumah, tapi tidak ada siapa pun di luar. Dia menonton TV sambil asyik mengobrol padahal dia sendirian, lalu tiba-tiba akan tertawa tanpa alasan. Aku juga pernah memberinya biskuit, kemudian dia menawarkan biskuit itu pada seseorang tak kasat mata. Yang kulihat Davina hanya mengangkat tanganya dan menyodorkan biskuit itu ke udara kosong.
Tante Tina dengan mobil fortunernya datang setelah beberapa saat aku menunggu dengan gelisah. Aku mengisyaratkan agar tante Tina tidak turun dari mobil. Sebelum mesin mobil dimatikan aku membuka pintu mobil dan masuk sambil menggendong Davina.
“Davina aneh gimana maksud kamu Vell?” Tante Tina langsung menodongku dengan pertanyaan itu, mimik wajahnya tampak khawatir. Ia memindahkan Davina ke pangkuanya, mata Davina langsung berbinar saat ia melihat Bunda-nya.
Aku pun menceritakan kejadian menakutkan tadi kepada tante Tina.
“Kan aku udah bilang tante, Davina itu aneh. Ini bukan pertama kalinya Davina membuatku takut, Dia punya teman imajinasi, aku khawatir Davina akan terus seperti ini sampai dia dewasa.” Cerocosku dengan nada resah bercampur rasa takut.
Tante Tina terdiam untuk beberapa saat.
“Vel, menurut tante..” Ucapan tante Tina menggantung, terdengar ragu-ragu. “Kalau menurut tante masalahnya bukan ada pada Davina. Davina tidak aneh, justu yang aneh itu kamu.”
Aku tersentak mendengar ucapan tante Tina. “Kok jadi aku yang aneh?”
“Vell, sekali lagi Davina itu gak aneh” Ucap tante Tina dengan penuh penekanan. “Dia normal selama sama tante atau pun Om Rizal, atau dengan siapa pun. Tidak ada yang pernah mengeluh tentang keanehanya selain kamu.”
Tante Tina meranik nafas, lalu melanjutkan. “Setelah waktu itu kamu bilang Davina suka bicara sendiri dan tertawa tanpa alasan, tante lebih memperhatikan dia. Tapi tante tidak pernah melihat Davina seperti apa yang kamu bilang, om Rizal juga begitu. Davina baik-baik saja, disa seperti anak kecil pada umumnya.”
Aku mencoba menyanggahnya. “Ta..Tapi mungkin saja itu….”
“Vell..” Potong tante Tina. “Tante menghabiskan waktu bersama Davina setiap saat, bukan sekali dua kali kami juga mengajak Davina jalan-jalan di malam hari. Dan ia tidak pernah menunjukan tanda-tanda kalau ia memiliki teman imajinasi seperti yang kamu bilang.”
Aku tertegun, diam. Kehabisan kata-kata.
“Tadi tante sempat membahas topik ini dengan teman tante, mungkin kasusmu sama dengan apa yang terjadi dengan sepupunya. Ada makhluk tak kasat mata yang mengikuti kamu kemana-mana, dan Davina bisa melihat keberadaanya karena dia masih kecil.”
Aku membulatkan mata tak percaya, lalu cepat-cepat menyanggahnya. “Itu mustahil”
“Ya memang faktanya seperti ini mau bagaimana lagi? Toh kamu juga tidak bisa menjelaskan secara rasional apa yang terjadi dengan Davina.”
Aku terdiam, tapi masih tetap tidak bisa menerima ucapan tante Tina.
“Kamu tidak usah khawatir, selama itu tidak mengganggu katanya tidak apa-apa.”
Aku memijit pelipisku. “Sepertinya kita terlalu banyak menonton film horror.”
Sedikit pun aku tidak mempercayai ucapan tante Tina. Selama ini aku baik-baik saja, tidak pernah ada kejadian aneh dalam hidupku, semuanya normal. Aku tau tante Tina hanya berusaha membela anak kesayanganya dengan cara menyudutkanku, ia tidak terima Davina disebut aneh. Aku pun tidak akan mengambil pusing masalah ini, semuanya pasti akan berlalu seiring berjalanya waktu.
*          *          *
Namaku Vellove Linda, usiaku 17 tahun tepat pada bulan Juli ini. Tercatat sebagai siswi kelas XII SMA N 3 Tasikmalaya yang terletak di jl. Kolonel Basyir Surya no Jawa Barat. Lokasinya tidak jauh dari rumahku, hanya terpisah jarak sekitar 5 meter. Orang tuaku meninggal pada kecelakaan tunggal 10 tahun silam, lalu aku dibesarkan oleh kerluarga dari ayahku. Diantara mereka semua aku hanya dekat dengan tante Tina. Pada intinya aku adalah gadis remaja normal. Sampai akhirnya mimpi itu muncul, kemudian terus menerus mendatangiku setiap malam.
Dimimpiku itu aku berlari di tempat yang asing dengan berlinang air mata. Nafasku sesak menahan sakit luar biasa yang menikam dadaku, entah kenapa aku merasa hatiku begitu hancur tanpa alasan yang jelas. Langit berwarna orange dengan fajar di ufuk timur masih belum sepenuhnya merekah. Aku menyusuri jalan setapak dengan terseok-seok menyeret gaun putih yang membalut tubuhku, pepohonan tinggi dan besar berjajar rapi memagari jalan yang kulewati.
Langkahku berhenti di depan sebuah kobaran api yang melahap habis sebuah bangunan tua mirip kerajaan zaman dulu. Dengan gelisah dan putus asa aku menoleh kesana kemari mencari sesuatu yang berharga, yang aku sendiri tidak tau apa yang aku cari itu. Namun setelah ekor mataku menemukan seseorang berdiri di menara kerajaan yang belum terjamah lidah api, detik itu juga aku menangis histeris. Aku memanggil-manggil namanya tanpa suara. Seseorang menahan tubuhku ketika aku mencoba menembus kobaran api untuk menyelamatkan orang itu.
Tapi hal mengerikan itu akhirnya terjadi, retina mataku menyaksikan sendiri orang tersebut menjatuhkan diri ke dalam kobaran api. Aku semakin histeris dan meronta-ronta di dalam pelukan seseorang. Aku merasakan kepedihan yang amat mendalam, rasa kehilangan luar biasa yang mencabik-cabik hatiku sampai rasanya tidak ingin lagi menghadapi dunia.
            Aku terisak dalam tidurku, sampai aku bangun pun tangisanku tidak berhenti. Rasanya ada suatu bongkahan besar yang menahan dadaku sehingga membuatnya sesak, sangat sesak sampai aku tidak bisa bernafas. Aku terduduk di tepi ranjang, kemudian beranjak untuk membuka jendela kamarku dan berdiri di sana cukup lama. Membiarkan angin malam masuk menerpa wajahku dan menghembuskan sedikit perasaan lega. Rembulan malam itu tampak seperti balon berwarna kuning pucat yang mengapung di udara. Setelah beberapa saat mematung di depan jendela, akhirnya aku mendapat ketenanganku kembali. Air mataku berhenti mengalir dan nafasku sudah normal kembali.
*          *          *
            Bel SMA Citra Harapan berbunyi nyaring memecah kesunyian pagi, nyaris terdengar ke seantero wilayah Margajaya. Para remaja berseragam putih abu berbondong-bondong memasuki gerbang masuk sekolah yang beberapa menit lagi akan ditutup. Dari gerbang masuk, mereka berjalan melewati lapangan upacara sebelum akhirnya tiba di gedung lantai tiga yang menjadi pusat kegiatan belajar mengajar.
            Aku membenarkan letak kacamata yang bertengger di hidungku seraya mempercepat langkah melewati lapangan upacara. Lalu memasuki lobi yang dijejal ratusan piala, poster dan visi misi sekolah yang aku sendiri malas untuk membacaanya. Di ujung lobi aku menemukan dua tangga yang saling berhadapan dan sama-sama terhubung ke lantai dua. Dari sana aku masih harus menaiki satu tangga lagi untuk mencapai kelas XII di lantai 3.
            “Vell…” Suara itu terdengar setibanya di lantai 3. Aku tersenyum pada sosok perempuan hitam manis yang sekarang sedang melambaikan tanganya ke arahku.
            “Noorma…” Aku balas memanggil nama sahabat dekatku itu.
            “Sekolah sudah menyetujui proposal kita untuk mengikuti Lomba Karya Tulis Ilmiah tahun ini.” Seru Noorma dengan mata yang berbinar.
            Binar di mata Noorma menular padaku. “Serius lo?”
     Noorma mengangguk dengan antusias, lantas kami berpelukan dengan perasaan penuh kemenangan.
            “Gilang dimana?” Aku celingukan mencari rekan satu tim-ku yang satu lagi.
            “Lagi di panggil pak Bambang buat ngobrolin rencana penelitian kita. Gilang semangat banget ngerjain proyek ini.” Jawab Noorma.
            Aku mengangguk-angguk. “Kita juga harus semangat, karena bisa jadi ini tahun terkahir kita ikut kompetisi.”
“Itu dia anaknya, panjang umur tuh orang.” Seru Noorma sambil melambai ke arah koridor dekat kelas kami.
            Pandanganku langsung beralih kepada Gilang yang berjalan sambil menenteng tasnya. Tanpa di beri aba-aba, lelaki jangkung itu langsung menghampiri kami.
“Respon wakasek luar biasa mendukung penelitian kita kali ini. Pokonya harus ngerjain proyeknya hari ini juga!” Ujar Gilang dengan nada antusias.
“Kemungkinan lombanya diadakan 3 bulan lagi, jadi kita akan punya banyak waktu.” Kata Noorma.
            Percakapan berakhir ketika peringatan untuk melaksanakan upacara bergema lewat speaker yang di pasang di seluruh penjuru sekolah. Aku, Gilang, dan Noorma terpaksa harus menuruni tangga dengan setengah hati. 15 menit kemudian upacara berlangsung dengan khidmat.
            “Sumpah hari ini panas banget..” Keluh Noorma sambil memicingkan matanya dan menunduk.
            Aku membelalak tidak setuju. “Elo aja yang lebay, adem gini di bilang panas.”
            Mendengar celotehku, Noorma lebih membelalak lagi. Ia kemudian menggeleng dengan tatapan yang meragukan kewarasanku. Aku hanya mengkat bahu tidak peduli, dan tanpa sadar tanganku terangkat untuk membetulkan posisi kacamata.
*          *          *
            Bisa dibilang Aku, Noorma dan Gilang adalah yang terbaik di angkatan kami. Kami bertiga sudah di karantina oleh sekolah sejak kelas X. Noorma unggul di Kimia, Gilang unggul di Biologi, sementara aku di Fisika. Kami bertiga selalu bekerjasama, saling melengkapi dalam mengerjakan sebuah penelitian. Lomba Karya Tulis Ilmiah tentu bukan hal yang asing bagi kami. Saat masih kelas X kami bertiga berhasil masuk 10 besar LKTI Nasional se-pulau Jawa. Selain LKTI, proyek kami yang lain adalah pembangunan Green House sekolah yang berhasil di rintis satu tahun yang lalu. Respon-nya positif, sekolah sangat mendukung penuh kegiatan kami sebagai perintis Green House.
            Hari itu kelas selesai pada pukul 14.00, Noorma izin pamit tidak bisa berkontribusi melakukan penelitian dikarenakan ibunya sakit. Akhirnya hanya aku dan Gilang yang tersisa, kami berdua langsung pergi ke Green House. Bangunan dari pelastik berukuran 25 x 10 m itu diisi dengan berbagai macam sayuran mulai dari cabai, tomat, kangkung, dan masih banyak lagi. Adapun penelitian yang sedang kami persiapkan adalah tentang pengaruh tingkat keasaman tanah pada pertumbuhan tanaman tomat. Kami sudah menyiapkan 6 buah benih Tomat berusia 3 minggu dengan tinggi sekitar 10 cm sebagai samplenya. Tugas kita kali ini adalah memilah tanah yang akan di atur tingkat keasamanya dengan masing-masing pH yaitu 3, 5 dan 7.
            Ditengah pekerjaan kami memindahkan tanah ke dalam polybag, Gilang berkata. “Biasanya kita ngerjain bertiga, rasanya aneh cuma ada lo aja.”
            “Lo gak suka? Kalau gitu gue pergi ya.” Sahutku dengan nada bercanda.
            “Enggak kok, justru sebaliknya. Gue suka.” Katanya. “Jarang-jarang gue bisa berduaan sama lo.”
            Aku mengerutkan dahi. “Jangan bilang kalau lo mau ngegodain gue!”
            “Kalau iya emang kenapa?”
            “Gue saranin jangan deh, gombalan lo gak akan mempan ke gue.”
            Gilang tertawa.
            Aku mengakui Gilang memang menarik dan cukup populer diantara siswa yang lain. Dia cukup tampan, pintar, rasa percaya dirinya tinggi dan selalu berpegang teguh pada pendirianya. Sayangnya dia sering memanfaatkan kepopulerannya itu untuk menggoda banyak perempuan, karena itulah dia terkenal dengan julukan si tukang PHP atau Pemberi Harapan Palsu.
            “Vel, kita kan udah bareng-bareng dari kelas X. Emang lo gak ada rencana gitu buat suka ke gue?”
            “Enggak!” Ketusku, tapi dengan nada bercanda. “Gue gak mau jadi korban tukang PHP”
            “Gue bukan tukang PHP Vel, mereka aja yang baper sendiri.” Tukasnya membela diri.
            “Cewek gak bakalan baper kalau cowoknya gak caper.”
            “Tapi serius Vel, kalau elo suka sama gue, gue janji gak bakalan PHP-in lo.”
            “Kenapa harus gue yang suka sama lo? Kenapa bukan lo aja yang suka sama gue?”
            Tangan Gilang yang sedang mengaduk tanah berhenti bergerak, ia memutar bahunya dan menatap lurus ke arahku, memandangiku lekat-lekat cukup lama, membuatku kikuk. Aku membetulkan letak kacamataku dengan gugup lalu bergurau untuk mencairkan suasana. “Gue cuma bercanda Lang.”
            “Dasar gak peka..” Keluhnya sambil melanjutkan aktivitasnya mengaduk tanah.
Tanpa terasa waktu berjalan semakin cepat, matahari hendak pulang ke peraduanya dengan meninggalkan jejak jingga di langit sore. Saat itu suasana sekolah sudah sangat sepi, aku mengekor di belakang Gilang menuju lab Biologi sambil membawa sample tanah yang akan di uji derajat keasamanya besok pagi. Saat masuk kami langsung disambut oleh atmosfir dingin dan kosongnya suasana lab. Disana banyak terdapat bangkai hewan yang di air keras dalam toples, berjejer diantara dinding-dinding lab.
“Gue gak pernah nyatain perasaan duluan.” Kata Gilang tiba-tiba.
Aku mengangkat alis. “Terus?”
“Tapi kalau lo yang suka sama gue, gapapa gue yang nyatain perasaan duluan.”
Aku memutar bola mata jengkel, Gilang masih terus menggodaku sejak tadi.
“Terus aja godain gue, perasaan gue dari baja kualitas tinggi jadi gak gampang baper.” Celotehku.
”Sebutin satu alasan kenapa lo gak bisa suka ke gue? Kalau alasanya bisa diterima gue berhenti godain lo.”
“Gue cuma suka sama satu orang, Lang.” Akhirnya aku mengeluarkan kata-kata pamungkas yang selalu aku gunakan setiap kali ingin menolak seseorang secara halus. “Dan gue tipe orang yang gak bisa berhenti menyukai setelah memulainya.”
“Siapa?”
”Yang jelas bukan lo.” Jawabku dengan nada bergurau.
Tiba-tiba saja Gilang memutar tubuhnya dan melangkah ke arahku, membuatku hampir terlonjak kaget dan refleks mundur. Pandangan matanya lurus menatapku dalam-dalam. Mimik wajahnya seperti mengatakan bahwa ia tidak suka dengan jawabanku. Gilang seperti hendak mengatakan sesuatu tapi hal itu tidak terjadi seiring ekspresinya yang berubah secara tiba-tiba, ia nampak terkejut dan kebingungan. Detik berikutnya ia memasang kuda-kuda dengan waspada, kepalanya bergerak ke sana kemari mencari sesuatu. Tidak lama kemudian ekspresi Gilang berubah lagi, kali ini tampak kentara sekali kalau dia ketakutan.
 “Kenapa lang?” Tanyaku penasaran.
 “Sebaiknya kita pulang sekarang Vel, sudah hampir malam.” Kata Gilang, mengabaikan pertanyaanku.
“Tapi masih ada 4 polybag lagi yang harus dipindahkan.”
“Besok saja.”
Gilang menyeretku keluar dari lab, aku bisa menangkap gerakan tangannya yang gemetar saat mengunci pintu. Meskipun aku merasa ada yang aneh dengannya tapi aku memutuskan untuk diam saja. Paling tidak aku sudah bisa menebak bahwa terjadi sesuatu dengan Gilang, karena biasanya anak itu paling enggan menunda-nunda pekerjaan, ia pasti akan selalu membereskan tugasnya sampai tuntas. Sepertinya hal itu telah benar-benar membuat Gilang ketakutan dan merubah pikiranya dari yang biasa ia lakukan.
*          *          *         
            Malam setelah aku tertidur, tiba tiba saja aku sudah berada di tempat lain berupa hutan dengan jejeran pohon akasia berdaun rindang dan gelap. Tubuhku berlari dengan balutan gaun putih yang menjuntai sampai mata kaki. Aku bosan melihat scene ini, terus menerus berulang setiap malamnya. Dan seperti malam-malam sebelumnya, setelah menyaksikan tubuh seseorang menjatuhkan diri dalam kobaran api, aku terbangun dengan kondisi mata sembab dan air mata yang terus mengalir tiada henti. Dada yang sesak karena sakit hati tanpa alasan membuatku beranjak dari tempat tidur menuju jendela. Aku menyukai terpaan angin malam dari jendela yang sengaja ku buka, aromanya selalu mengirimku ketenangan.
*          *          *
            Pagi yang tenang hari ini terganggu oleh kesibukanku saat membereskan buku-buku pelajaran. Bel sudah berbunyi nyaring sekitar 2 menit yang lalu dan aku masih bergelut di dalam kamar. Aku mengenakan kacamataku sebelum melirik ke arah jam dinding yang menggantung di salah satu tembok. Saat melihat jarum jamnya menunjukan pukul setengan delapan lebih, detik itu juga aku dilanda kepanikan. Akhirnya ku putuskan mengambil jalan pintas dengan menenteng sepatuku, mengabaikan penampilanku yang masih berantakan dan segera menuruni tangga untuk pergi ke sekolah. Gara-gara mimpi bodoh itu aku jadi sering bangun kesiangan.
            Berkat gerakan cepat kaki pendek-ku, aku tiba di sekolah tepat sebelum gerbang di tutup. Aku langsung berlari menuju kelas, mengabaikan tatapan mata yang mengikutiku dengan pandangan risih. Di koridor lantai tiga aku berpapasan dengan Gilang, ia menghentikan langkahku dan berdecak sambil menggeleng saat melihat penampilanku dari ujung rambut hingga ujung kaki.
            “Lo ke sekolah nyeker Vel? Kenapa sepatunya gak di pake dulu?” Tanya Gilang.
            “Gak sempet Lang, tadi gue buru-buru.” Jawabku di antara nafas yang tersengal-sengal berkat lari marathon dadakan pagi ini. “Akhir-akhir ini gue sering bangun kesiangan.”
            “Coba pake dulu sepatunya sebelum masuk ke kelas.” Pinta Gilang
            Aku menurut, menurunkan sepasang sepatu yang ku tenteng dari kostan kemudian mengeluarkan kaus kaki. Gilang membantuku mengikatkan tali sepatu.
            “Sabuknya jangan lupa juga di pake.” Komentar Gilang.
            Aku hampir saja melewatkannya kalau saja tidak di ingatkan Gilang, segera ku ambil sabuk hitam itu dari dalam tas dan mengenakanya.
            Selesai dengan urusan tali sepatu, Gilang bergerak ke belakang. Terakhir aku mengetahui ternyata dia berusaha merapikan rambutku dan mengikatnya. Kalau saja aku ini seperti kebanyakan perempuan yang di goda Gilang, aku pasti sudah luluh oleh sikap manisnya.
            “Kalau dilomba KTI kali ini kita menang, pokoknya lo harus suka ke gue ya.” Kata Gilang. “Gue bisa ngurus lo dengan baik.”
            Aku yang masih sibuk dengan urusan sabuk sontak menghentikan gerakan. Aku benci topik ini dan ingin segera mengalihkan pembicaraan.
            “Lang, sebenarnya gue penasaran tentang kemarin sore. Lo gak bisa bohong, pasti ada sesuatu yang terjadi.” Ujarku, berusaha memancing Gilang mengubah arah pembicaraan.
            Gilang diam sebentar, seperti menimang sesuatu. “Emang kemarin lo gak denger atau liat sesuatu yang aneh di lab Biologi?” Tanya Gilang.
            Setelah selesai dengan urusan sabuk dan ikat rambut, aku memutar badan dan berhadapan langsung dengan Gilang. “Enggak kok, emang ada apa? Gue penasaran banget.”
            “Pas kemarin masuk ke lab perasaan gue udah gak enak, di sana gue ngeliat ada bayangan anak kecil yang mondar-mandir. Tapi gue gak ngomong apa-apa khawatir lo bakalan parno.” Jelas Gilang.
Aku membetulkan posisi kacamataku saat mendengar penuturanya. “Terus?”
            “Pas kita lagi ngobrol ada suara cekikian di belakang gue, makin lama makin kenceng. Yakin lo gak denger apa-apa waktu itu?”
            Aku mencoba mengingat-ingat lagi kejadian kemarin, kemudian menggeleng sebagai jawaban. “Gue beneran gak denger apa-apa, Lang.”
            “Padahal suaranya kenceng banget. Pantesan respon lo biasa aja.”
            Aku terdiam untuk berfikir, menimang semua kemungkinan rasional yang bisa menjelaskan penyebab kejadian kemarin.
            “Udah ah jangan terlalu di ambil pusing. Kita harus fokus ke LKTI, jangan ke yang lain.” Ucap Gilang menghentikan pikiranku berselancar.
            Aku mengangguk membenarkan ucapanya.
*          *          *
            2 bulan kemudian tepatnya pada bulan September, langit Kota Tasik senantiasa ditemani awan mendung hampir di setiap harinya. Tapi ada sesuatu yang istimewa dari September kali ini, karena sebuah kabar baik perihal LKTI datang kepadaku, Noorma dan Gilang. Tim kami dinyatakan lolos seleksi ke tahap semi final dan diundang ke kantor wali kota untuk mempresentasikan hasil penelitian yang kami lakukan.
Dan hari ini pun lagi-lagi aku bangun kesiangan. Aku berlari menuju sekolah diantara gerimis tipis yang menemani pagi. Namun naas, gerimis itu berubah menjadi hujan lebat sebelum aku sempat mencapai lobi. Karena sudah nyaris sampai aku pun memaksakan diri menembus hujan lebat itu dengam berlari-lari, dan akhirnya sampai di lobi dengan sedikit basah kuyup.
Noorma langsung menghambur ke arahku begitu aku sampai ke kelas.
“Yang tadi siapa Vel?” Tanyanya dengan mata berbinar.
Aku mengerutkan dahi heran “Tadi siapa apanya?”
“Jangan pura-pura bego deh, Itu loh yang tadi pake matel merah lari ke loby bareng lo.”
Aku semakin terheran-heran. “Gue ke loby sendiri kok Noor.”
“Lo gak usah bohong, gue bisa liat dari jendela kok.” Noorma bersikeras. “Cielah mesra banget dipayungi segala pake mantelnya.”
Aku memijit kepalaku yang sebenarnya tidak apa-apa. “Masih pagi jangan bikin gue bingung, Noor. Gue sama sekali gak ngerti sama apa yang lo omongin.”
“Oh jadi sekarang lo mau rahasia-rahasiaan sama gue?”
Aku sungguh putus asa menghadapi Noorma yang keras kepala. Untunglah ada Gilang yang secara tidak langsung datang menyelamatkanku.
“Ayo cepat kita harus berangkat sekarang!” Kata Gilang.
“Kemarin bilangnya jam 10.00” Protes Noorma.
“Pak Bambang bilang kita berangkat sekarang aja, soalnya dia mau menemui dulu saudaranya yang kebetulan jadi juri LKTI.”
“Kalau begitu gue fotocopy laporanya dulu ke perpus.” Ucapku.
            Gilang mengangguk. “Noorma siapin alat dan bahan yang perlu dibawa, gue mau ngerapihin slide powerpoint buat persentasi kita nanti.”
            Kami bertigapun berpisah untuk mengerjakan tugas masing-masing.
*          *          *
            Aku memang sudah tidak asing dengan persentasi karya ilmiah. Tapi tetap saja selalu merasa gugup. Untunglah diantara kami bertiga ada Gilang yang paling bisa mengendalikan rasa gugupnya, ia selalu menyemangatiku dengan sifat optimisnya.
            Ketika sedang menunggu giliran untuk presentasi, tiba-tiba Noorma datang dengan wajah cemas. Ia lalu berkata “Teman-teman, maaf. Sepertinya ada yang tertinggal.”
            Aku membelalak kaget. “Apa yang tertinggal Noor?”
            “Buah tomat hasil penelitian kita, sepertinya tertinggal di Green House.”
            “Gawat, itu kan senjata pamungkas kita untuk menang.” Gilang ikutan cemas.
            Noorma menundukan kepalanya. “Maafkan aku, seharusnya aku lebih teliti lagi. Aku akan mengatakan ini pada pak Bambang untuk meminta solusi”
            “Sudah tidak ada waktu lagi, kita harus kembali ke sekolah untuk membawa buah tomatnya. Penelitian kita akan sia-sia tanpa bukti yang bisa kita perlihatkan.”
            Bukti yang dimaksud Gilang adalah perbandingan buah tomat yang di tanam di media tanah pH 3, 5 dan 7.
            Noorma menggigit bibirnya. “Kendaran di parkiran sudah mulai padat, mobil sekolah kita tidak bisa keluar.”
            Gilang menggaruk kepalanya, tampak frustasi.
            “Kita cari motor.” Usul Gilang. “Ayo Vel ikut aku kita kembali ke sekolah.”
            “Noor aku titip kondisi disini ya, sebentar lagi nomor undian kita. Kalau aku dan Gilang belum kembali lakukan apa saja yang bisa mengulur waktu.” Kata-ku.
            Noorma mengangguk paham, detik berikutnya aku dan Gilang melesat pergi secepat yang kami bisa. Gilang mondar-mandir mencari motor yang bisa kami pinjam, untung saja ada tukang parkir di sana yang berbaik hati meminjamkan motornya.
            Gilang dengan gagah menaiki motor itu, kemudian menstarternya. Seketika mesin sepeda motor menderu halus. Aku mematung di dekat Gilang dengan perasaan ragu-ragu.
            “Ayo naik Vel..” Perintah Gilang.
            “Kita gak pakai helm Lang?” Tanyaku ragu.
            “Tenang saja, gue tau jalan tikus menuju sekolah. Kita tidak akan ketahuan polisi.”
            “Tapi Lang…”
            “Ayo cepat.” Gilang memotong ucapanku. “Kita harus buru-buru.”
            Karena desakan Gilang akhirnya aku naik ke motor tersebut dengan perasaan bimbang, di dalam pikiranku terus terbesit untuk memakai helm.
*          *          *
            Siang itu langit Bogor tampak gelap, Gilang memacu motornya membelah jalanan Kota Bogor dengan kecepatan tinggi. Gerismis turun tepat ketika kami hampir sampai di sekolah. Gilang semakin menambah kecepatanya, tapi saat itu tiba-tiba saja mobil minibus di depan kami berhenti secara mendadak.
            Aku tau Gilang berusaha menginjak rem motor, tetapi laju motor terlalu cepat dan Gilang tidak bisa menguasainya. Akhirnya tabrakan itu tak terelakan lagi, menimbulkan suatu dentuman keras yang memekakan telinga, motor yang ditumpangi kami menabrak bember minibus hitam di depan kami. Kecelakaan itu berlangsung sangat cepat dan tidak terduga, aku hanya memejamkan mata saat itu terjadi. Aku merasakan tubuhku terpental ke depan dan menabrak sesuatu, lalu jatuh di tanah beraspal.
            Aku mengecek kaca mata yang masih bertengger aman di hidungku, lalu bangkit berdiri untuk melihat keadaan di sekitar. Detik berikutnya orang-orang datang mengerumuniku dan membopongku ke pinggir. Karena kejadianya dekat sekolah, banyak siswa sekolahku yang menghambur ke tempat kejadian dan ikut mengerubuniku. Kondisiku baik-baik saja, tidak ada yang lecet, aku bahkan bisa berdiri untuk mencari Gilang. Aku mengkhawatirkanya.
*          *          *
            Karena kecelakaan tersebut, kami terpaksa harus merelakan lomba karya tulis ilmiah yang sudah kami persiapkan selama berbulan-bulan. Semuanya seakan sia-sia, usaha kami, perjuangan kami, sayang sekali padahal kami hanya tinggal selangkah lagi. Tapi di balik semua itu, aku sangat bersyukur kecelakaan tersebut tidak menimbulkan masalah yang serius. Luka Gilang tidak terlalu parah, ia hanya benjol di bagian kepala akibat benturan dengan bagian belakang minibus. Pelipis, siku dan lutunya juga berdarah saat jatuh ke aspal. Untung saja semua itu sudah diatasi dengan baik oleh petugas ambulans yang datang ke tempat kejadian. Mereka bilang tidak ada yang perlu dikhawatirkan dan Gilang juga tidak perlu di rawat di rumah sakit.
Noorma tidak hentinya menyalahkan diri sendiri, ia merasa karena keteledoranya lah semua itu terjadi. Bukan hanya Noorma, Gilang yang sudah sadar dari pingsannya juga menyalahkan dirinya sendiri. Gilang merasa ia seharusnya lebih hati-hati saat mengendarai motor dalam keadaan segenting apa pun. Aku berdiri diantara mereka berdua untuk menengahi.
            “Kita lupakan saja lomba itu, jangan ada lagi yang membahasnya.” Kataku dengan intonasi tegas.
            “Tapi kamu beneran gak apa-apa, Vel?” Gilang kembali memastikan. Ia menelisik wajahku lebih lama. Aku langsung menggeleng sebagai jawabanya.
“Yakin? Soalnya itu kelopak mata kamu kelihatanya bengkak.” Gilang menunjuk mata kiriku.
            Noorma menyodorkan sebuah cermin kecil yang biasa ia simpan di saku. Aku melepas kacamata dan melihat bayangan wajahku dari pantulan cermin. Aku agak terkejut  saat mendapati di kelopak mata sebelah kiri, tepatnya di bawah alis, ada tanda keunguan dan bengkak di sekitanya.
            “Pasti gara-gara tadi ngebentur belakang mobil ya..” Kata Noorma. “Beruntung banget pas kejadian tadi lo lagi gak pake kacamata. Kalau sampai lo nubruk mobil pake kacamata dan kacamatanya pecah, terus pecahan kacanya kena mata lo, kan bisa parah banget.”
            Aku mengerenyit, lalu berfikir sejenak. “Gue pake kacamata kok Noor.”
            “Mungkin pas kecelakaan tadi kacamatanya gak sengaja jatuh.” Kini Gilang yang bersuara.
            “Gue yakin banget kacamata gue gak jatuh, soalnya pas kejadian tadi gue ingat sempet ngecek kacamata gue.”
            Gilang dan Noorma saling berpandangan, tampak sama-sama bingung.
            “Terus gimana ceritanya kelopak mata lo bisa bengkak sementara kacamatanya baik-baik aja bahkan utuh?” Celoteh Gilang sambil mengambil kacamataku dan membolak-baliknya.
            “Bener Vel, mungkin tadi lo kaget banget jadi lupa.”
            “Gue serius dan yakin 100%” Kataku masih kekeh dengan pendapatku.
            Gilang dan Noorma berpandangan lagi, dari ekspresi mereka aku bisa mengetahui bahwa mereka tidak mempercayai kata-kataku.
            “Oke, terserah kalian mau percaya atau enggak. Karena selain kalian, gue juga ngerasa ini aneh banget. Mana mungkin kelopak mata gue bisa bengkak sementara kacamatanya baik-baik aja.” Ucapku pada akhirnya.
            “Gak usah terlalu dipikiran Vel.” Kata Noorma dengan nada menenangkan. “Anggap saja tadi kacamata lo jatuh, cuma lo gak sadar soalnya panik.”
            Sebenarnya ini bukan kecelakaanku yang pertama. 10 tahun yang lalu aku mengalami kecelakaan yang lebih parah dari ini, kecelakaan itu merenggut nyawa kedua orang tuaku. Aku tidak terlalu ingat kondisiku saat kecelakaan yang pertama, namun kecelakaan yang barusan sama sekali tidak memberikan efek apa-apa terhadapku. Aku tidak mengalami serangan panik, tubuhku tidak gemetar usai kejadian, aku sangat baik-baik saja sampai aku mampu bangkit tanpa bantuan, aku bahkan tidak ingat bagaimana kelopak mataku bisa bengkak. Aku tidak yakin bahwa tadi aku membentur bagian belakang minibus, rasanya terlalu tenang. Tapi semua itu tidak ku ungkapkan kepada Gilang dan Noorma, karena hal itu pasti akan membuat mereka semakin kebingungan dan pada akhirnya menganggapku aneh.
            Peristiwa itu mengganggu pikiranku selama berhari-hari. Aku terus memikirkan hal paling rasional yang bisa menyebabkan mataku bengkak sementara kacamatanya baik-baik saja. Aku sudah mencoba mereka ulang kecelakaan itu dengan menjadikan dinding kamarku sebagai bagian belakang minibus. Saat aku membenturkan kepalaku ke dinding, aku mendapati dinding itu tidak bisa mencapai kelopak mataku tanpa menghancurkan kacamata yang aku kenakan. Bagaimana pun caranya, dari mana pun arahnya, kacamata akan selalu menjadi tembok penghalang untuk bisa sampai ke kelopak mata. Sebenarnya kacamataku itu adalah barang biasa dan bukan merk terkenal, aku membelinya di sebuah toko optik dekat sekolah dengan harga standar. Bingkainya terbuat dari plastik, dan tentu saja bisa patah jika terkena benturan keras.
*          *          *
            Aku berdiri di tepi jendela, menikmati paparan angin malam yang saat itu terasa begitu menenangkan. Malam ini aku tidak bisa tidur karena banyak hal yang kupikirkan. Kepalaku juga dipenuhi dengan ratusan pertanyaan yang aku sendiri tidak tahu kapan pertanyaan-pertanyaan ini mendapatkan jawabanya, jika memang ada.
Selama ini aku percaya setiap masalah memiliki penjelasan rasional, tapi akhir-ahir ini kepercayaanku itu mulai menipis. Aku tidak bisa memecahkan beberapa masalah yang terjadi kepadaku, bagaimana pun aku memikirkannya tetap tak kudapatkan penjelasan yang masuk akal. Contohnya seperti keanehan Davina yang oleh tante Tina malah dilemparkan kepadaku. Lalu si mantel merah yang pernah dilihat Noorma. Belakangan aku tau Noorma tidak berbohong karena sampai saat ini dia masih ngotot menanyakan tentang dia. Lagi pula apa gunanya dia berbohong untuk hal semacam itu. Dan terakhir adalah yang paling aneh, yaitu kecelakaan yang membuat mataku bengkak tetapi kacamataku baik-baik saja.
            Saking putus asanya tanpa sadar aku bergurau. “Jika memang tidak ada penjelasan rasional dari semua yang terjadi kepadaku, aku harap seseorang bisa memberiku jawaban dari semua keanehan ini.”
            Saat malam merangkak semakin larut aku pun tertidur, dan bermimpi aneh. Mimpiku agak berbeda dari malam-malam sebelumnya, kali ini latarnya adalah kamarku. Aku melihat tubuhku menggeliat-geliat dalam tidur, ia tampak resah dan ketakutan, nafasnya memburu seperti dikejar sesuatu, dan ia menangis dalam tidurnya. Tangisanya masih berlanjut bahkan saat dia sudah bangun. Kemudian tubuhku itu turun dari ranjang dan membuka jendela kamar lebar-lebar. Ternyata tanpa diketahui oleh tubuhku, seseorang telah berdiri di sana tepat dihadapanku. Dia mengenakan mantel merah dengan bagian lengan seperti kerucut yang melebar ke bawah. Warnanya sangat mengkilap bagai kain satin.  Sedangkan kepala orang itu ditutupi bagian mantel menyerupai hoodie.
Orang itu kemudian mengangkat tanganya yang pucat, sisa kain menjuntai dibawah lenganya. Ia mengelus kepalaku dengan lembut sampai aku berhenti menangis. Melihat adegan itu membuatku terkesiap, selama ini aku tidak pernah menyadari kehadiran seseorang di depan jendelaku, aku juga tidak tau bahwa dia senantiasa menenangkanku ketika menangis, yang aku tau hanya hembusan angin malam saja yang senantiasa memberikan ketenangan kepadaku.
Seperti sebuah slide film yang berganti. Kali ini saat upacara bendera yang membosankan. Aku dan Noorma yang berdiri bersebelahan sering berbisik-bisik.
            “Sumpah hari ini panas banget..” Keluh Noorma sambil memicingkan matanya dan menunduk.
            Aku membelalak tidak setuju. “Elo aja yang lebay, adem gini di bilang panas.”
            Mendengar celotehku, Noorma lebih membelalak lagi. Ia kemudian menggeleng dengan tatapan mengejek, tampak meragukan kewarasanku.
            Aku ingat pernah mengalami hal itu, membahas pembicaraan tersebut dengan Noorma. Sekarang aku baru paham kenapa kami memiliki perbedaan pendapat. Hal itu terjadi karena tubuh Noorma terpapar langsung sinar matahari, sementara tubuhku dilindungi oleh mantel merah yang sengaja diangkat tinggi-tinggi oleh seseorang. Dan lagi-lagi dia adalah si mantel merah penghuni jendela kamarku.
Scene berganti lagi, selanjutnya adalah lab biologi di hari saat aku dan Gilang membawa tanah untuk diuji derajat keasamannya. Dan aku baru menyadari, ternyata pada hari itu tidak hanya ada aku dan Gilang, si mantel merah juga ada di sana sedang berdiri di antara kami. Aku menarik ucapanku tentang si mantel merah penghuni jendela kamarku, sepertinya dia tidak hanya muncul di jendela tetapi bisa muncul di mana saja di semua tempat yang dia inginkan.
Saat aku dan Gilang sedang mengobrol, di waktu yang sama si mantel merah menghilang, dan kembali bersama seorang anak kecil botak yang hanya mengenakan bawahan berwarna putih. Si mantel merah membisikan sesuatu pada bocah kecil itu, si bocah kemudian mengangguk lalu berlari-lari mengitari laboratorium dengan tawa lebar yang menyeramkan. Sementara itu si mantel merah menghampiri tubuhku, membuat kami berhadapan dalam jarak yang sangat dekat. Perlahan kedua tanganya terangkat menutupi kedua telingaku sehingga aku tidak bisa mendengar apa-apa. Dari scene ini aku baru menyadari perbedaan tinggi diantara kami sangat jauh, tubuhku hanya sebatas di bawah bahunya.
Tepat ketika Gilang mendekat ke arah tubuhku, ia mendengar derap lari di sekitar laboratorium. Ia lebih terkejut dan kebingungan saat mendengar tawa anak kecil yang menggema di seluruh ruangan, Gilang memasang kuda-kudan dengan tatapan mata bergerak ke sana kemari mencari asal suara tapi ia tak menemukan apa pun. Saat itulah ekspresi wajahnya berubah menjadi ketakutan.
“Kenapa lang?” Tanya tubuhku.
 “Sebaiknya kita pulang sekarang Vel, sudah hampir malam.” Kata Gilang, mengabaikan pertanyaanku.
“Tapi masih ada 4 polybag lagi yang harus dipindahkan.”
“Besok saja.”
Akhirnya satu kejadian aneh yang tak memiliki penjelasan rasional mulai terjawab. Aku sangat terkejut karena jawaban yang ada ternyata sangat jauh dari perkiraanku selama ini.
*          *          *
            Latar scene kali ini adalah pemandangan sekolahku di tengah gerimis, aku melihat tubuhku berlari menuju sekolah. Saat hampir mencapai lobi, gerimis berubah menjadi hujan lebat dan di saat yang sama muncul si mantel merah, ia mengangkat tinggi-tinggi tanganya untuk melindungiku dari guyuran hujan lebat dan lari bersamaku.
            Setibanya di kelas Noorma langsung menodongku dengan pertanyaan. “Yang tadi siapa Vel?”
            Aku yang tidak tau apa-apa balik bertanya karena kebingungan. “Tadi siapa apanya?”
            Ternyata benar, dia lah si mantel merah yang dilihat oleh Noorma. Entah kenapa melihat dia lari bersamaku dari scene itu membuatku merasa ia selalu ada disekitarku. Dia muncul dimana saja aku berada. Apa mungkin yang pernah dikatakan tante Tina itu benar? Seseorang tak kasat mata selalu mengikutiku kemana-mana, dan dia adalah si mantel merah. Pikiran itu membuatku lebih penasaran padanya, aku ingin mengetahui lebih banyak tentangnya. Aku penasaran dengan wajahnya yang selalu sukses di lindungi hoodie mantelnya.
            Scene berganti lagi. Kali ini saat aku berada di IPB tepat pada hari lomba karya tulis ilmiah. Aku dan Gilang sedang berbicara dengan tukang parkir yang meminjami kami motor. Si mantel merah hadir di dekatku sambil menunjuk-nunjuk ke arah sesuatu, yang belakangan aku tahu bahwa dia menunjuk sebuah helm. Saat Gilang menaiki motor dan mulai menyalakan mesin, si mantel merah mulai berteriak-teriak.
            “Pake helm, Vel..” Suaranya terdengar putus asa. “Kumohon pakailah helm.”
            Tubuhku mengabaikan teriakan itu dan malah menaiki motor Gilang.
            Scene di percepat dan berhenti di detik-detik kecelakaan yang menimpa kami. Tepat ketika motor yang dikemudikan Gilang menabrak bagian bemper minibus, tubuhku terpental kedepan dan kepalaku nyaris menghantam kaca belakang minibus.           Untung saja si mantel merah muncul tepat waktu, dia menangkap tubuhku dan mendarat di tanah beraspal dengan selamat. Saat itu terjadi hoodie mantelnya terbuka, aku sangat antusias saat bagian kepalanya terekspos. Akhirnya aku tau dia memiliki rambut berwarna coklat terang, beberapa helai rambut menjuntai diantara dahinya. Matanya bening dengan bola mata biru yang cerah. Hidungnya runcing, bibirnya tipis, dan rahangnya berbentuk lancip. Kesimpulanya, dimataku dia adalah seorang bule dengan fisik yang sempurna.
*          *          *
            Scene terkahir adalah scene yang paling aku hafal. Saking hafalnya dengan scene ini, aku bahkan dapat menghitung jumlah pohon akasia yang menjulang tinggi berdaun rindang dan gelap di sana. Meskipun aku sudah tau kelajutan mimpiku tapi aku tetap tak bisa menghentikan atau merubah jalan ceritanya. Tubuhku seperti bukan milikku sendiri, ia mengikuti alur cerita yang sudah jelas bagaimana akhirnya.
Semua scene dari mimpiku tetap sama. Tapi ada satu hal yang berbeda, yaitu saat aku memanggil-manggil namanya dengan putus asa, kali ini terdengar jelas suara dari bibirku meneriakan nama. “PETRA….. PETRA…..”
Retina mataku menangkap seorang lelaki berkulit putih, berambut coklat terang dengan bola mata biru cerah yang bening, menjatuhkan diri ke dalam kobaran api. Aku semakin histeris dan meronta-ronta di dalam pelukan seseorang. Aku merasakan kepedihan yang amat mendalam, rasa kehilangan luar biasa yang mencabik-cabik hatiku sampai rasanya tidak ingin lagi menghadapi dunia dan kenyataan. Di sisi lain pada diriku, begitu terkesiap saat mengenali wajah orang yang menjatuhkan diri ke dalam api. Dia tidak lain adalah si mantel merah, dan bisa ku simpulkan bahwa mimpiku itu ternyata ada hubunganya dengan dia.
            Aku terisak dalam tidurku, sampai aku bangun pun tangisanku tidak berhenti. Rasanya ada suatu bongkahan besar yang menahan dadaku sehingga membuatnya sesak, sangat sesak sampai aku tidak bisa bernafas. Aku bergegas turun dari ranjang, menghambur ke arah jendela dan berharap akan menemukan seseorang di sana. Saat aku membuka daun jendela lebar-lebar, aku sangat bahagia karena si mantel merah sudah berdiri tepat di hadapanku, ia sudah menunggu lama di luar jendela kamarku. Bola matanya yang biru cerah memandanganku dengan tatapan hangat. Tapi entah kenapa tangisanku malah semakin menjadi. Dia hanya tersenyum lalu mengangkat tanganya dan mengelus rambutku dengan lembut sampai tangisanku berhenti.
            Setelah bisa mengendalikan diri, aku langsung menanyakan hal yang paling membuatku bingung. “Aku tidak tau kenapa aku harus sesedih ini saat melihatmu jatuh ke dalam api. Aku bahkan tidak tau identitasmu, sebenarnya kamu siapa?”
            Si mantel merah atau mungkin bisa ku panggil Petra, memulai ceritanya. “Dulu sekali, aku berlayar ke tempat yang sangat jauh dari rumahku. Tempat itu adalah sebuah kerajaan kecil di negeri tropis yang makmur. Rajanya memiliki putri yang cantik jelita dan kami saling jatuh cinta. Namun ternyata cinta kami membawa petaka bagi kerajaan makmur itu. Ada seorang raja yang pernah sang putri tolat cintanya, mengirimkan sihir berupa kutukan keji dimana sang putri dan seluruh keturunan perempuanya akan mati di tangan cinta sejatinya.
Suaranya begitu lembut, aku mendengarkan setiap kata yang dia ucapkan dan lama-lama aku tertarik. Lebih pada ketertarikan seorang anak kecil saat ia mendengarkan sebuah dongeng.
Petra menarik nafas sebelum melanjutkan ceritanya. “Tak lama kemudian muncul gejolak dan peperangan, orang-orang dari tempat asalku menghancurkan kerajaan milik sang putri dan merampas semua kekayaan alamnya. Hal yang terparah, mereka memaksaku membunuh sang putri dengan tanganku sendiri.” Ada kesedihan mendalam dari kalimat terakhirnya. “Tanpa kami sadari kutukan itu memang benar-benar terjadi.”
            . “Lalu apa kau membunuhnya?” Tanyaku, lebih pada rasa penasaran terhadap kelanjutan sebuah dongeng.
            Petra menggeleng. “Aku melindunginya. Aku tak pernah sanggup menyakitinya apalagi membunuhnya. Ku korbankan jiwaku kedalam kobaran api agar ruh ku bisa melindunginya dan melindungi semua keturunan perempuannya dari kutukan keji itu.
Suara Petra menggantung, lalu melanjutkan beberapa detik setelahnya. “Dan tak ku sangka, aku bertemu dengan reinkarnasinya tepat di keturunan yang ke 100.”
            Petra menatapku dengan pandangan yang sulit diartikan, lalu bibirnya yang tipis mengucapkan kata. “Aku tidak pernah menyadarinya sampai kau berusia 17 tahun. Vellove, kamulah reinkarnasi sang putri yang sangat aku cintai.”
            Aku terkesiap, jantungku berdetak cepat, perasaanku tidak karuan.
           “Mimpi yang berulang setiap malam adalah tanda bahwa kau memang dia. Tapi aku tak pernah menginginkan mimpi itu membawa kesedihan untukmu, aku ingin kau selalu bahagia, jadi kumohon mimpikan lah sesuatu yang menyenangkan. Aku akan selalu ada disampingmu, menemanimu, menjagamu, meskipun kau tak mengetahuinya.”
            Sosok Petra dalam pandanganku tiba-tiba saja mengabur. Aku mengerejapkan mata dan ternyata aku mendapati diriku berada di atas ranjang, masih bergelung dengan bantal dan selimut yang senantiasa menemaniku tidur. Kejadian tadi terlalu nyata untuk sebuah mimpi. Detik itu juga aku menghambur ke arah jendela dan langsung membukanya lebar-lebar, berharap akan menemukan seseorang disana. Tapi aku tak menemukan sosok itu lagi dihadapanku, hanya tampak langit gelap dengan bulan berwarna kuning pucat mengapung di angkasa. Angin malam berhembus menerpa kulitku, membuat helaian rambutku menari-nari. Ada sedikit ketenangan yang kudapat dari desiran angin malam itu, dan kali ini aku langsung menyadari bukan hanya angin yang memberiku ketenangan. Tapi sosok Petra yang saat ini sedang mengelus rambutku, memandangku dengan tatapan yang hangat dengan bola mata birunya yang bening. Tanpa sadar aku tersenyum.
            “Aku tau kau disini.” Ucapku. “Terimakasih sudah menjagaku selama ini, Petra.”
Selesai

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS