CIRCLE LOVE
Kita berempat,
membentuk rantai persahabtan. Yang diam-diam terhubung karna perasaan.
Sunny
adalah mentari yang bersinar di Langit. Dan Atlantika, adalah nama Samudra.
Keempatnya, meyakini adanya hubungan pada nama masing-masing. Mungkin Sunny
untuk Langit, dan Atlantika untuk Samudra. Tapi, bukan kah laut itu memiliki
warna yang sama dengan langit?
Sunny
menatap dalam-dalam, empat sosok berseragam SMA di dalam bingkai foto.
Mengingat mereka, membuatnya tak bisa berhenti tersenyum. Foto itu diambil pada
kelulusan 5 tahun lalu, saat mereka masih menjadi bocah pemimpi. Namun sejauh
ini, Sunny berharap tak akan menemukan sosok lain dalam diri sahabat-sahabat
nya. Ia selalu ingin bertemu Langit yang
pendiam dan mempesona, Atlantika yang cantik dan ceroboh, serta Samudra yang
keras kepala dan humoris. Seperti dulu.
”Dilihat
dari sudut manapun, dalam foto itu tetap gue yang paling keren.” Suara itu
membuat Sunny menoleh cepat.
“Sam..”
Jeritnya riang, lantas menghambur pada sosok tinggi yang muncul di balik pintu.
“Gue kangen banget sama lo.”
“Kok
lo masih tetep pendek?” Tanya Sam berlagak bingung, disertai kekehan khas
miliknya.
Sunny
merengut di pelukan Sam. Ia memang agak sedikit sensitif jika menyangkut soal
ukuran tubuhnya. “ Jangan bahas yang itu dong, gue males! Mana kata-kata kangen
lo buat gue?”
“Eh,
siapa yang kangen sama lo. Sorry ya, gue datang karena mau ketemu....”
“Tika..”
Potong Sunny, ia melepaskan pelukan Sam sambil mengerucutkan bibir. “Jahat banget lo Sam, gue kan juga sahabat
lo. Mentang-mentang lo suka nya sama Tika, gue di lupain”
Sam
terbahak. “Gue becanda. Ternyata lo ga berubah ya, masih tetep manja.”
“Gak
lucu!” Sunny berlagak marah, membuat Sam terpaksa bertingkah konyol untuk
mengembalikan tawanya. Persis seperti dulu.
“Kita ke gazebo sekarang yuk! Gue
udah nyiapin semuanya, khusus untuk menyambut kedatangan kalian di rumah ini
lagi.” Ajak Sunny.
Sam mengangguk semangat. Gazebo
rumah Sunny adalah tempat favorit yang paling dirindukanya. Secara beriringan,
merekapun berjalan menuju halaman. Tempat bangunan persegi tanpa dinding itu
berada. Sesekali mereka saling mengejek satu sama lain, lalu terbahak
bersama-sama.
Retina mata Sam menemukan tempat
itu. Dia hampir tidak percaya telah melihatnya lagi secara langsung. Gazebo
tempatnya bermain robot-robotan dengan Langit, sampai membantu peluncuran roket
air, penemuan sahabatnya itu. Tempatnya menghibur Sunny yang jatuh dari ayunan,
sampai menghibur sahabatnya itu ketika patah hati. Dan, tempatnya menatap Tika mendengarkan
lagu, sampai dirinya sendiri menyanyikan lagu untuk Tika. Intinya, tempat itu adalah
saksi bisu kisah hidup Sam dengan mereka dari kecil hingga dewasa.
“Lo
gak kangen sama pohon apel itu?” Tanya Sunny, menunjuk pohon dekat kolam yang
berhadapan langsung dengan sudut gazebo. Sunny hafal betul, Sam tak pernah
absen memanjat pohon itu saat sedang berkumpul di gazebo.
“Gue lebih kangen sama orang yang
gue tatap diam-diam dari atas pohon itu.” Sunny terkekeh mendengar jawaban Sam.
Ia tak habis pikir jika membayangkan wajah polos si pengecut Sam, saat
mengintip di balik dahan, menatap Tika di sela-sela daun. Tanpa berani
menatapnya dengan cinta secara langsung.
Mata Sam langsung berkilat saat
mendapati sebuah gitar terletak di sudut gazebo. Ia langsung menyambarnya
dengan semangat. “Ini dia gitar gue. Ada banyak banget lagu baru yang gue
ciptain buat Tika, gue sengaja datang lebih awal supaya bisa latihan dulu.
Semoga dia masih menyukai lagu gue.”
“Tentu
saja. Atlantika akan selalu menyukai lagu lo.” Sambut Sunny dengan tersenyum
lebar.
Sam
memposisikan dirinya senyaman mungkin, menghirup udara dalam-dalam lalu menghembuskanya
perlahan. Ia rindu oksigen ini. Tak lama, ia pun mulai menciptakan nada-nada
dengan suara petikan gitarnya. Instrumen-instrumen indah yang tak mampu Sunny
tolak.
Beberapa
waktu kemudian, permainan Sam pun selesai. Lalu ia menatap arloji hitam yang
melingkar di tanganya. “Sudah hampir jam 10 tepat. Siap bertemu fisikawan
lulusan Prancis. Ibu dokter?” Tanyanya.
“Gue
gak percaya, kita akan lengkap lagi sekarang. Lo tau kan, ini moment yang
paling gue tunggu sejak dulu.” Mata Sunny berbinar-binar, ia merasakan ada yang
meletup-letup di dadanya.
“Semoga
saja 5 tahun tak membuat mereka berubah. Gue selalu berharap tetap ketemu
Langit yang adil, dan Tika yang ceroboh.” Tanpa sadar, sudut bibir Sam
terangkat membentuk senyum kecil.
“Tika
pasti sudah tidak ceroboh lagi. Dia sudah menjadi ahli Industri Kimia lulusan Jepang.
Setidaknya dia pasti lebih berhati-hati lagi sekarang.”
Untuk
beberapa saat, gazebo di halaman Sunny hening. Sam sibuk membetulkan senar
gitarnya. Dan Sunny, ia mengisi keheningan itu dengan menatap Samudra
dalam-dalam. Sebenarnya, ia sedang berusaha meyakinkan diri untuk menanyakan
hal yang sudah lama ingin ia tanyakan pada si bintang lapangan hijau itu.
“Sam..”
Panggil Sunny ragu-ragu. Sam hanya meresponya dengan deheman kecil, tanda bahwa
ia mendengar panggilan Sunny. “Mengenai hal yang lo bilang ke gue pas wisuda 5
tahun lalu. Apa lo masih kepikiran itu?”
Aktivitas
Sam mendadak terhenti, detik selanjutnya ia menatap Sunny dengan pandangan yang
sulit diartikan. Cukup lama, sehingga Sunny sempat berasumsi Sam tak akan menjawabnya.
“Gue
beneran cinta, sama dia.” 5 kalimat Sam itu membuat Sunny tersentak, lalu
tersenyum penuh arti. Letupan di dadanya makin terasa, ia sangat bahagia.
Setidaknya, Sunny bukanlah satu-satunya orang yang merasa telah menghianati
persahabatan mereka.
“Dan
gue tau lo juga masih cinta sama dia, iya kan?” Tanya Sam balik, ia sudah bisa
membaca roman di wajah Sunny yang bersemu kemerahan.
Sunny
mengangguk semangat. “Gue gak pernah mencintai sesuatu, sebesar gue mencintai
Langit.”
“Gue
juga. Gak ada yang lebih berharga dari sosok Atlantika dalam hidup gue.” Sam
terdiam, lalu terkekeh dengan pikiranya sendiri.“Lucu juga ya, kalo misalnya
kita berjodoh sama orang yang kita cintai. Dan orang itu, adalah sahabat kita
sendiri.”
“Tapi
apa mungkin, kita berjodoh dengan mereka?” Sunny tau, topik ini tak lebih dari
sebuah gurauan. Namun ia menyukai gurauan ini, satidaknya karna di dalamnya
melibatkan Langit.
“Pasti
seru banget.” Ucap Sam tanpa menghiraukan pertanyaan Sunny. “Kita gak butuh
kata-kata perpisahan, atau berduka mengenang kisah kita di masa lalu. Karena
kita akan melanjutkan persahabatan itu, pada ikatan lebih dalam. Bernama
keluarga.”
“Gue suka impian lo, meskipun itu
agak sedikit kekanak-kanakan.”
Sam dan Sunny pun terkekeh bersama, mentertawakan
ocehan mereka sendiri.
“Bagaimana kalau ceritanya
berbalik?” Ucap Sam, nada suaranya berubah serius. “Bagaimana kalau yang
berjodoh itu adalah orang yang kita suka, sahabat kita sendiri?” Lanjut Sam.
“Maksud lo, Tika dan Langit?” Sunny
bergeming. Ia mengibaskan tangan di depan wajahnya. “Gak mungkin! Maksud gue,
mereka kan gak sedekat lo sama Tika, atau gue sama Langit.”
“Tapi bisa aja kan?”
“Mereka gak cocok!” Sunny mulai
membenci topik ini. Ia ingat, Langit dan Tika selalu di anggap pasangan paling
serasi di sekolah. Hal ini tentu saja membuatnya tidak suka.
“Kenapa
enggak?” Tanya Sam heran.
“
Jodoh itu kan harus saling melengkapi, nah kalo mereka? Sama-sama pinter,
sama-sama cakep, sama-sama beruntung. Apanya yang harus di lengkapi?” Jawab
Sunny dengan nada bete.
Sam menggeleng. “Justru yang pernah gue
denger kaya gini. Kalo ada cowok sama cewek yang punya banyak kesamaan, itu
tanda nya mereka jodoh.”
“Hushh.. Jangan ngomong sembarangan!”
Protes Sunny, perasaan tidak sukanya semakin menyembul ke permukaan. Meski
faktanya, Tika dan Langit memang kurang dekat. Mereka hanya bicara seperlunya,
dan jarang terlihat bersama kalau tidak ada Sam atau Sunny. “Lagian menurut
hipotesa gue, Tika itu lebih banyak bergantung sama lo. Dia selalu milih lo
dibanding Langit. Lo tau sendiri kan?”
Sam akhirnya mengangguk-angguk.
“Tika kan suka banget lagu tanpa
lirik. Dan soal nyiptain lagu, lo jago nya.. Jadi gue yakin, kalian cocok.”
Sunny tersenyum simpul, Sam membalasnya dengan senyum yang sama.
“Bagaimana dengan Langit? Kita gak
tau perasaan dia kan.” Tanya Sam.
Sunny menghela nafas. Meski kesal,
tapi ia tetap menjawabnya.“Langit itu adil, sikap dia ke Tika dan gue tu sama.
Tapi tetap aja, Langit lebih dekat ke gue.”
“Itu karna lo yang selalu nyosor
duluan.”Sam terkekeh tanpa dosa, sehingga Sunny menghadiahinya sebuah jitakan
di kepala.
“Langit
itu prinsipnya di dekati, bukan mendekati. Jadi wajar dong kalo gue yang
nyamperin dia duluan.” Bela Sunny.
“Lagi
ngomongin gue ya?”
Sam
dan Sunny menoleh ke asal suara, sosok Langit sudah berdiri di belakang gazebo.
Keduanya pun beringsut dari sana, menghampiri Langit untuk melepas rindu
mereka. Dan sudah bisa dipastikan, jika Sunnylah yang pertama kali tiba di
pelukan Langit.
“Gue
kangen kangen kangen kangen banget sama lo.” Ujar Sunny hampir sesegukan.
“Gue
juga. 5 tahun membuat lo banyak berubah
ya Sunn.”
Sunny
mengeratkan pelukannya, tangis nya hampir pecah di dada Langit. Ia sungguh
sangat merindukan suara itu.
“Heyy
udah dong.” Sela Sam.”Emang lo aja yang kangen sama Langit?”
Sunny
pun melepas pelukanya dengan berat, memberi giliran untuk Sam memeluk
sahabatnya.
“Panjang
umur lo, baru aja di omongin udah nongol. Wah, kaya udah jadi bule beneran lo
Ngit. Makin putih aja. Kalo gini ceritanya, gue minder sama kulit gue yang item
ini.” Ucap Sam seraya terkekeh.
“Gue
gak tau, lo niatnya muji atau ngejek. Kulit seputih ini kan pantesnya di
cewek.” Cibir Langit ”Gue justru ngiri sama kulit atletis yang lo punya, badan
lo juga makin kekar. Keren pokok nya. Eh, kemarin gue liat pertandingan lo di
TV, lo hebat Sam.”
Sam
melepaskan pelukannya dengan senyum lebar. “Lo lebih hebat, tentu saja untuk
bidang akademik. Tuan Profesor.” Langit tergelak mendengar ocehan Sam.
Beberapa
waktu kemudian, merekapun kembali mengisi gazebo dengan ocehan tanpa akhir,
tentang pengalaman masing-masing selama berjauhan. Sunny duduk tanpa ingin
berjauhan dengan Langit, barang sesenti pun. Ia memeluk lengan Langit, dan
menatap wajahnya tanpa bosan.
“Aduh,
Tika mana ya? Dia udah telat 5 menit dari waktu yang udah di janjikan.” Oceh
Sam, seraya melirik gelisah arlojinya.
“Yaelah.
Baru juga 5 menit, biasanya kan dia telat 1 jam.” Timpal Sunny, ia terkekeh menyaksikan
kegelisahan Samudra.
“Tapi
kan di email dia udah janji, untuk datang 30 menit lebih awal. Aduh, gue udah
kebelet pengen ketemu dia nih.”
“Itu
dia..” Suara berat Langit yang tenang terdengar bahagia. Telunjuknya mengarah
pada seseorang yang muncul tergopoh-gopoh dari balik halaman. Sam orang pertama
yang meninggalkan gazebo, dan tanpa jeda langsung merengkuh Atlantika kedalam
dekapannya lalu memutar-mutarnya sambil tertawa keras.
“Atlantika,
laut gue.. Akhirnya kita bertemu, gue
kangen banget sama lo.” Pekik Sam bahagia.
Tika
tertawa di tengah keterkejutannya, ia tidak menyangka akan menerima sambutan
seperti ini dari Sam. “Iya.. Iya.. Gue juga. Aduh Sam, gue sesak nafas nih. Mau
gak lepasin gue.”
“So..Sory.
Gue terlalu seneng ketemu lo.”
“TIKAA..”
Jerit Sunny, dan Tika balas menjerit. Mereka berpelukan sambil meloncat-loncat
girang. “ini beneran lo?” Sunny menangkup wajah Tika, dan Tika mengangguk.
Mereka kembali berpelukan. Apa saja bisa terjadi dalam meluapkan kerinduan
untuk 5 tahun terpisah, termasuk sikap kekanak-kanakan mereka.
“Lo
gak di kasih makan ya di Jepang. Kok jadi kurus kaya gini?” Tegur Sunny dengan
nada cemas.
“Gue
keseringan mikirin kalian, makanya jadi kurus kaya gini.” Gurau Tika sambil
terkekeh.
“Gak
masalah. Lo tetep kelihatan cantik kok.” Komentar Sam. Da Sunny menyikutnya
sambil tersenyum simpul.
“Eh
gue datang telat ya? Semuanya udah lengkap belum?” Cerocos Tika.
“Udah
lah, lo sih pake acara telat segala. Tuh Langit..” Tunjuk Sunny pada seseorang
yang muncul di balik punggung Sam.
Entah
mengapa, Tika mendadak kehilangan moodnya saat Langit mendekat. Suasana pun tak
semeriah sebelumnya, semua mendadak hening. Langitpun memeluk Tika dengan
gerakan canggung.
“Seneng
bisa ketemu lo lagi.” Ucap Langit, seraya melepaskan pelukannya.
“Gue
juga.” Balas Tika sambil tersenyum kecil. Selanjutnya, Tika lebih memilih
menghampiri Sam dan mengobrol panjang dengannya.
* * *
“Sunn, kalo kita bisa
kuliah di luar negri kaya Tika dan Langit. Lo mau milih negara mana?” Tanya
Sam.
“Sudah pasti Prancis
lah.” Jawab Sunny mantap seraya mengerling ke arah Langit.
“Hebat mana Prancis
sama Jepang?” Kata Sam, bermaksud bergurau.
“Prancis ga ada apa-apa
nya di banding Jepang.” Langit angkat bicara.
“Tidak. Justru Prancis
lebih hebat.” Kini giliran Tika.
Sam dan Sunny saling
berpandangan, heran. Ko jadi saling merendahkan gitu?
“Kalian aneh.” Sunny
menggeleng.”Oh iya, gue baru inget. Tika, bukanya lo jatuh cinta banget sama
menara Eiffel. Kenapa dulu gak milih kuliah di Prancis, kenapa malah di Jepang?”
“Langit juga.” Timpal
Sam sebelum Tika sempat menjawabnya.”Bukan nya lo tergila-gila sama teknologi
dan budaya Jepang, ko jadinya milih kuliah di Prancis?”
Langit seperti salah
tingkah, ia berdehem kecil. Tika juga sama-sama terlihat gugup. Mereka tampak
kesulitan mencari kata-kata yang pas.
“Karena, ada sesuatu
yang lebih menarik di Prancis. Kalo kalian gak percaya, dateng aja kesana.”
Kata Langit akhirnya.
“Misalnya?”
“Nanti kalau kalian
kesana, akan ku tunjukan.”
“Kesana?” Tanya Sunny sambil merangkul lengan
Langit.”Emang lo mau pergi lagi? Jangan dong..” Rengeknya.
“Nggak
bisa Sunny, ada banyak tawaran proyek menggiurkan disana. Gue cuma punya waktu 3
bulan pasca wisuda.” Tutur Langit lembut, namun kalimat lembut itu membuat
Sunny tercekat hingga kehilangan kata-katanya.
“Jadi
lo bakalan hidup disana?” Sam bertanya dengan nada terkejut.
“Belum
ten...”
“Sampai
kapan?” Potong Sunny cemas.
Langit
menggeleng. “Gue gak tau. Soalnya belum pasti sih.”
“Gue
gak mau kehilangan lo lagi.” Sunny mendadak lemas, ia menatap Langit dengan
mata berkaca-kaca. Membuat ketiga sahabat nya panik.
“Hey
hey hey.. Jangan nangis. Kita datang kesini bukan untuk bersedih, iya kan?
Lagian, masih ada waktu 3 bulan untuk membuat gue berubah fikiran.” Langit
mengusap rambut Sunny, yang lain juga ikut menenangkannya.
Sesudah
percakapan itu, Sunny lebih banyak diam. Padahal sebelumnya, dia yang paling
banyak bicara. Sampai akhirnya...
“Temen-temen.”
Suara Sunny membuat semua mata memandangnya.
“Gue
mau buat pengakuan. Sebelum perkumpulan ini selesai...” Sunny mengoper matanya
menatap Langit. “Dan sebelum Langit bener-bener pergi lagi.”
“Sunn..”
Sam mengerti arah pembicaraan Sunny, dan dia merasa tidak siap untuk ini.
“Gue
harus ngomong ini sekarang, Sam! Gak ada waktu lagi.” Ungkap Sunny lemas, Sam
hanya menunduk. Ia tampak pasrah dengan apa yang akan dikatakan Sunny.
“Pengakuan
apa?” Tika nampak terkejut.
“Sebenarnya...”
Sunny melirik Sam, pemain bola itu masih menunduk ragu-ragu. “Sebenarnya ada cinta yang tumbuh dalam
persahabatan kita.”
Semua
orang terkejut, terlebih Tika dan Langit. Atmosfir yang terasa selanjutnya
adalah ketegangan.
“Ini
sudah terjadi sejak lama.” Sunny meneruskan kata-katanya.”Tapi gue dan Sam gak
mau merusak persahabatan kita. .”
“Maksudnya,
kalian saling jatuh cinta?” Langit tampak membulatkan matanya terkejut. Namun
detik selanjutnya, ia tersenyum dan mengangguk. “Kenapa baru bilang sekarang?”
“Bukan.”
Tukas Sunny lemas.”Maksudnya, kita saling jatuh cinta pada orang lain. Sahabat
kita sendiri.”
Dahi
Langit mengerut, sorot matanya memandang Sunny dengan tatapan menuntut
penjelasan.
“Dulu,
gue pernah jujur sama Tika. Tentang perasaan gue.” Diujung sana, Tika sama
sekali tak bereaksi saat namanya disebut. Ia malah menunduk dalam, seperti ada
yang di sembunyikan dari raut wajahnya.
”Kalau
gue cinta sama lo, Langit.” Lanjut Sunny dengan nada bergetar, ia terlalu gugup
untuk menyadari bahwa dirinya menangis saat mengatakan itu.
HENING...
Langit
sama sekali tidak bergerak, ia tampak sangat syok. Sunny berusaha mengumpulkan
keberanianya, lalu meraih tangan Langit dan menggenggamnya. “Gue gak bisa kaya
gini terus, terlebih saat gue tau lo bakal pergi lagi. Gue gak mau jauh dari lo
lagi, gue cinta banget sama lo Langit.”
“Dan
gue juga mau ngungkapin isi hati gue.” Akhirnya Sam sanggup bicara. Ia harus
berterimakasih pada Sunny, untuk kesempatan ini. Kalau Sunny tidak memulai, entah
kapan Sam mampu mengatakan itu pada Tika,
“
Sunny bener, gue udah jatuh cinta sama sahabat gue sendiri. Atlantika...” Sam
menggenggam jemari Tika dengan segenap keberanianya. Sama seperti Langit, Tika
juga sangat terkejut.
Keheningan
itu kembali datang tanpa menemui titik akhir jika saja suara Sam tidak
memecahnya.
“Jadi,
Tika. Tanpa bermaksud menghianati persahabatan kita, lo bisa kan ngertiin
perasaan gue?”
Mata
Tika tampak berkaca-kaca, tubuhnya menegang. Dan sebelum bulir itu jatuh
mengaliri pipinya, Tika memilih beranjak untuk menyembunyikanya.
“Ini,
terlalu tiba-tiba.” Ucapnya bergetar. “Sorry, tapi gue harus pulang.” Tanpa
menunggu persetujuan, Tika mengambil langkah lebar meninggalkan gazebo. Sam
pergi menyusulnya, hingga kini tersisa Langit dan Sunny.
“Mungkin
buat lo, ini juga tiba-tiba.” Ucap Sunny. “Tapi buat gue enggak. Perasaan ini
udah tumbuh dari dulu. Lo mau kan tetap tinggal disini, demi gue?”
Langit
masih tak bereaksi. Hingga akhirnya, tangannya bergerak keluar dari genggaman
Sunny. “Bukan lo, Sunny. Gue minta maaf, gue gak bisa.” Perlahan, Langitpun
ikut meninggalkan gazebo. Sunny terlalu lemas untuk menyusulnya, penolakan itu
membuat hatinya porak poranda.
* * *
Tengah malam buta, saat kedinginan
mencapai titik menggigil. Rumah Sam di ributkan dengan suara ketukan yang
terkesan mendesak. Sam menghampiri pintu dengan malas, ia membukanya dengan
sedikit emosi. Sebelum sempat menyemprotkan emosinya, Sam di kejutkan dengan
sosok Sunny yang berurai air mata.
Detik berikutnya, Sunny mendaratkan
tubuhnya dipelukan Sam. Ia menangis meraung-raung di dada Sam. Sam sempat
terheran-heran, dan menenangkan Sunny agar ia bisa bicara. Tapi tangisnya malah
semakin kencang. Akhirnya Sam pasrah, membiarkan Sunny tenang dengan
sendirinya.
“Sam...” Akhirnya, Sunny bicara.
Suara nya terdengar tercekat, dan pedih.
“Lo kenapa Sunn?”
“Kalo misalnya, sahabat lo minta
sesuatu yang paling berharga dari hidup lo. Apa lo akan memberikannya?”
Sam mengerenyit. Tapi dia tetap
menjawabnya meski sedikit bingung. “Tentu saja, lo seharusnya udah tau
jawabanya dari awal. Emang yang lo maksud itu apa Sunn? Lo kenapa sebenarnya?”
Desak Sam.
Sam harus sabar menunggu kalimat
selanjutnya dari Sunny, karna ucapannya selalu terputus-putus. “Sam.. Gue, gue,
gue minta lo lepasin Tika. Gue mohon..” Sunny melorot di kaki Sam setelah
mati-matian menyelesaikan kalimatnya. Ia kembali meraung-raung disana, tampak
sangat tersiksa.
* * *
Kemarin, saat Tika pergi dari
gazebo. Ia meninggalkan tasnya. Sunny membawa tas itu tanpa maksud mengantarkannya
pada Tika, atau pun sekedar menghubunginya. Peristiwa yang telah terjadi, dan
patah hatinya membuat Sunny malas melakukan sesuatu.
Satu-satunya hal yang membuat Sunny
menyentuh tas itu adalah suara dering ponsel yang tak kunjung berhenti. Ia pun
terpaksa merogoh isinya tanpa bermaksud mengusik privasi sahabatnya. Dering itu
berhenti tepat ketika ponsel itu berada di genggaman Sunny. Ada 7 missed call
dan 3 pesan disana. Sunny berniat membukanya jika saja layar itu tak di protek
dengan kata sandi.
Sunny sempat terkejut dengan semua
barang yang ada di dalam tas itu. Semua sangat berbau Prancis, dengan aksen
warna biru. Sunny tampak berbinar saat menemukan buku Diary milik Tika. Namun
binarnya meredup, ternyata Diary itu diisi dengan tulisan Jepang yang tak
dimengerti. Sunny menyisakan sebuah dompet yang tidak terjamah tangannya, namun
karena semua barang sudah di amatinya hingga bosan. Ia pun beralih pada dompet
itu.
Sunny tersenyum menatap foto mereka
berempat yang tersemat disana, itu foto sewaktu mereka SD. Sudah lama sekali,
bahkan Sunny tak ingat dimana foto itu di ambil. Dari sisi kiri, ada Sam, Tika,
Langit, dan dirinya sendiri. Di foto itu, tampak Langit merangkul pundak Tika
dengan senyum lebar, hal ini adalah fenomena yang jarang terjadi. Biasanya,
Tika dan Langit selalu menjaga jarak bukan?
Kemudian Sunny iseng mencabutnya
dari tempat foto, namun ada yang ikut jatuh dari sana. Sebuah surat biru yang
amat usang dan tua.
Surat itu lebih menarik
perhatiannya. Ia pun memungut kertas itu, membuka lipatannya dan mulai membaca
isinya. Raut wajah Sunny mulai berubah di awal alinea tulisan tersebut,
tangannya bergetar dan matanya memerah. Lalu, nama di akhir surat itu, begitu
menohok hatinya. Tanganya terkulai lemas, begitu tak berdaya.
Surat itu.. Surat Biru dari Langit,
untuk Atlantika. Ungkapan Cintanya, 13 tahun yang lalu.
* * *
“Mereka saling
mencintai sebelum kita mencintai mereka, Sam. Kita adalah sahabat paling bodoh
yang tidak menyadari itu.” Ucap Sunny pedih, setelah ia berhasil mengatakan
semuanya pada Sam.
“Bukankah hanya Langit
yang mengirim surat? Dan Tika tidak meresponnya, itu berarti Tika tidak
menyukainya.” Tegas Sam.
“Diantara semua surat
yang di alamatkan padanya, Tika lebih memilih menjaga surat Langit. Apa lo
masih belum yakin juga?”
“Seharusnya Tika
menerimanya, jika dia memang mencintai Langit.” Ucap Sam panik.
“Seharusnya Tika
memikirkan perasaan gue, kalo misalnya dia mau nerima Langit.” Tukas Sunny. “Lo
tau kan, gue pernah jujur ke Tika soal perasaan gue. Gue pernah liat surat itu
di tangan Tika, tepat saat gue berniat jujur ke dia. Dia bilang mau ngomong
sesuatu, tapi dia kalah cepet. Gue terlalu bersemangat mengatakan soal perasaan
gue.”
Sunny menyambung
kata-katanya “Gue bilang gue cinta banget sama Langit, dan gue minta bantuan ke
dia supaya gue bisa lebih deket sama Langit. Gue pasti jahat banget waktu itu
Sam... Gue terlalu egois untuk menghiraukan perubahan ekspresi Tika. Dia
terluka waktu itu, dan gue milih gak peduli.” Sunny terisak lagi, lebih pedih
dari sebelumnya.
Sam memijit keningnya.
“Belum tentu Sunn, mungkin itu......”
“Apa sih yang masih
bikin lo ragu?” Potong Sunny frustasi. “Apa lo bisa jawab kenapa kata sandi
ponsel Tika harus di beri nama LANGIT?”
Sam terdiam, ia menolak
untuk percaya. Tapi gagal.
“Tika yang malang.”
Gumam Sunny melemah. “Karena gue, dia nolak orang yang dia cintai. Kalo bukan
karna gue, dia gak harus susah payah ngehindari Langit.”
“Langit yang malang.”
Lanjut Sunny, masih mengumam untuk dirinya sendiri. “Dia gak seharusnya di acuhkan
oleh orang yang dia cintai.”
Selama Sam terdiam,
Sunny terus mengoceh pada dirinya sendiri.
“Tika gak seharusnya
kuliah di Jepang, Langit gak seharusnya kuliah di Prancis. Kalo mereka ingin
tetap bersama. Oh tuhan, malang sekali mereka...”
“CUKUP SUNNY...
HENTIKAN SEMUA ITU.” Sam berdiri dari duduk nya dengan tatapan tajam menghunus,
nafasnya naik turun menyiratkan emosi.
Sunny tertawa, cukup
membuat Sam bergidik. “Akhirnya lo percaya juga.. Tapi sekedar percaya aja gak
cukup. Gue minta lo ngelepasin Tika, buat Langit.”
“GAK SEMUDAH ITU.. Tika
bukan Cuma berharga buat gue, tapi dia lebih. Mestinya lo udah tau hal itu.”
“Langit juga. Tapi gue
gak mau egois dengan membiarkan orang yang gue cintai kehilangan kebahagiaanya.
Gue cinta sama Langit, maka nya gue mau ngelepasin dia.”
Sam membeku, tarikan
nafasnya mulai melemah.
“Kita sudah kehilangan
mereka selama 5 tahun. Jangan biarkan mereka pergi lagi, gue yakin Tika pasti
sanggup membuat Langit bertahan disini. Kita akan berperan sebagai sahabat,
sekaligus orang yang mencintai mereka.”
Sunny menyentuh jemari Langit dan meremasnya.
Dalam kepasrahan yang
menyayat hatinya, Sam mengangguk dalam. Dan mereka sama-sama tersenyum untuk
keputusan mulia itu.
END