Diberdayakan oleh Blogger.

Popular Posts

Weekly post

Cara Membuat Logo Telkomsel dengan Corel Draw

CARA MEMBUAT LOGO TELKOMSEL
MENGGUNAKAN COREL DRAW

11.     Buka aplikasi Coreldraw, lalu buat halaman baru dengan meng klik file pada menu bar klik New atau tekan ctrl+N. Akan muncul seperti pada gambar dibawah.



12.      Buat objek segienam dengan polygon tool. Ubah menjadi segi enam dengan menekan angka 6 pada property bar.


13.     Miringkan objek dengan rotasi 350®, lihat pada gambar dibawah


4. Warnai objek dengan warna abu-abu


1.      5. Copy kan objek tersebut dengan menekan Ctrl+D , dan di beri warna merah. Lalu posisikan seperti gambar dibawah



6.  Sekarang kita akan membuat objek yang melingkup pada segienam . gunakan elipse tool (F7) buat lingkaran agak lonjong horizontal.

 

7. Copy kan objek elips (Ctrl+D) rubah elips yang telah di copy menjadi agak kecil dan posisikan seperti gambar dibawah

8.  Blok kedua elips tersebut, klik trim . hapus elips kecil. Sehungga bentuknya seperti gambar di bawah.
 

 9.  Copy kan (Ctrl+D) gambar sabit, lalu posisikan seperti gambar dibawah


10. Blok kedua sabit dan tekan Ctrl+G untuk menggabungkan keua gambar. Beri warna abu terang, lalu letakan pada segienam . lihat gambar



11.      Kemudian membuat perpotongan antara objek elips yang terpotong dengan segienam merah, caranya klik objek segienam merah tekan Shift kemudian klik salah satu objek elips yang terpotong, pilih metode intersect pada property bar, dan beri warna putih pada hasil potongan . lakukan hal yang sama pada objek elips yang satu lagi dengan segienam merah.

1.      12. Tekan text tool atau F8 , lalu ketik TELKOMSEL (Arial , Bold, Italic) . Sehingga hasil akhirnya seperti          ini


SELESAI





  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

CIRCLE LOVE



CIRCLE LOVE
Kita berempat, membentuk rantai persahabtan. Yang diam-diam terhubung karna perasaan.
Sunny adalah mentari yang bersinar di Langit. Dan Atlantika, adalah nama Samudra. Keempatnya, meyakini adanya hubungan pada nama masing-masing. Mungkin Sunny untuk Langit, dan Atlantika untuk Samudra. Tapi, bukan kah laut itu memiliki warna yang sama dengan langit?
Sunny menatap dalam-dalam, empat sosok berseragam SMA di dalam bingkai foto. Mengingat mereka, membuatnya tak bisa berhenti tersenyum. Foto itu diambil pada kelulusan 5 tahun lalu, saat mereka masih menjadi bocah pemimpi. Namun sejauh ini, Sunny berharap tak akan menemukan sosok lain dalam diri sahabat-sahabat nya.  Ia selalu ingin bertemu Langit yang pendiam dan mempesona, Atlantika yang cantik dan ceroboh, serta Samudra yang keras kepala dan humoris. Seperti dulu.
”Dilihat dari sudut manapun, dalam foto itu tetap gue yang paling keren.” Suara itu membuat Sunny menoleh cepat.
“Sam..” Jeritnya riang, lantas menghambur pada sosok tinggi yang muncul di balik pintu. “Gue kangen banget sama lo.”
“Kok lo masih tetep pendek?” Tanya Sam berlagak bingung, disertai kekehan khas miliknya.
Sunny merengut di pelukan Sam. Ia memang agak sedikit sensitif jika menyangkut soal ukuran tubuhnya. “ Jangan bahas yang itu dong, gue males! Mana kata-kata kangen lo buat gue?”
“Eh, siapa yang kangen sama lo. Sorry ya, gue datang karena mau ketemu....”
“Tika..” Potong Sunny, ia melepaskan pelukan Sam sambil mengerucutkan bibir.  “Jahat banget lo Sam, gue kan juga sahabat lo. Mentang-mentang lo suka nya sama Tika, gue di lupain”
Sam terbahak. “Gue becanda. Ternyata lo ga berubah ya, masih tetep manja.”
“Gak lucu!” Sunny berlagak marah, membuat Sam terpaksa bertingkah konyol untuk mengembalikan tawanya. Persis seperti dulu.
            “Kita ke gazebo sekarang yuk! Gue udah nyiapin semuanya, khusus untuk menyambut kedatangan kalian di rumah ini lagi.” Ajak Sunny.
            Sam mengangguk semangat. Gazebo rumah Sunny adalah tempat favorit yang paling dirindukanya. Secara beriringan, merekapun berjalan menuju halaman. Tempat bangunan persegi tanpa dinding itu berada. Sesekali mereka saling mengejek satu sama lain, lalu terbahak bersama-sama.
            Retina mata Sam menemukan tempat itu. Dia hampir tidak percaya telah melihatnya lagi secara langsung. Gazebo tempatnya bermain robot-robotan dengan Langit, sampai membantu peluncuran roket air, penemuan sahabatnya itu. Tempatnya menghibur Sunny yang jatuh dari ayunan, sampai menghibur sahabatnya itu ketika patah hati. Dan, tempatnya menatap Tika mendengarkan lagu, sampai dirinya sendiri menyanyikan lagu untuk Tika. Intinya, tempat itu adalah saksi bisu kisah hidup Sam dengan mereka dari kecil hingga dewasa.
“Lo gak kangen sama pohon apel itu?” Tanya Sunny, menunjuk pohon dekat kolam yang berhadapan langsung dengan sudut gazebo. Sunny hafal betul, Sam tak pernah absen memanjat pohon itu saat sedang berkumpul di gazebo.
            “Gue lebih kangen sama orang yang gue tatap diam-diam dari atas pohon itu.” Sunny terkekeh mendengar jawaban Sam. Ia tak habis pikir jika membayangkan wajah polos si pengecut Sam, saat mengintip di balik dahan, menatap Tika di sela-sela daun. Tanpa berani menatapnya dengan cinta secara langsung.
            Mata Sam langsung berkilat saat mendapati sebuah gitar terletak di sudut gazebo. Ia langsung menyambarnya dengan semangat. “Ini dia gitar gue. Ada banyak banget lagu baru yang gue ciptain buat Tika, gue sengaja datang lebih awal supaya bisa latihan dulu. Semoga dia masih menyukai lagu gue.”
“Tentu saja. Atlantika akan selalu menyukai lagu lo.” Sambut Sunny dengan tersenyum lebar.
Sam memposisikan dirinya senyaman mungkin, menghirup udara dalam-dalam lalu menghembuskanya perlahan. Ia rindu oksigen ini. Tak lama, ia pun mulai menciptakan nada-nada dengan suara petikan gitarnya. Instrumen-instrumen indah yang tak mampu Sunny tolak.
Beberapa waktu kemudian, permainan Sam pun selesai. Lalu ia menatap arloji hitam yang melingkar di tanganya. “Sudah hampir jam 10 tepat. Siap bertemu fisikawan lulusan Prancis. Ibu dokter?” Tanyanya.
“Gue gak percaya, kita akan lengkap lagi sekarang. Lo tau kan, ini moment yang paling gue tunggu sejak dulu.” Mata Sunny berbinar-binar, ia merasakan ada yang meletup-letup di dadanya.
“Semoga saja 5 tahun tak membuat mereka berubah. Gue selalu berharap tetap ketemu Langit yang adil, dan Tika yang ceroboh.” Tanpa sadar, sudut bibir Sam terangkat membentuk senyum kecil.
“Tika pasti sudah tidak ceroboh lagi. Dia sudah menjadi ahli Industri Kimia lulusan Jepang. Setidaknya dia pasti lebih berhati-hati lagi sekarang.”
Untuk beberapa saat, gazebo di halaman Sunny hening. Sam sibuk membetulkan senar gitarnya. Dan Sunny, ia mengisi keheningan itu dengan menatap Samudra dalam-dalam. Sebenarnya, ia sedang berusaha meyakinkan diri untuk menanyakan hal yang sudah lama ingin ia tanyakan pada si bintang lapangan hijau itu.
“Sam..” Panggil Sunny ragu-ragu. Sam hanya meresponya dengan deheman kecil, tanda bahwa ia mendengar panggilan Sunny. “Mengenai hal yang lo bilang ke gue pas wisuda 5 tahun lalu. Apa lo masih kepikiran itu?”
Aktivitas Sam mendadak terhenti, detik selanjutnya ia menatap Sunny dengan pandangan yang sulit diartikan. Cukup lama, sehingga Sunny sempat berasumsi Sam tak akan menjawabnya.
“Gue beneran cinta, sama dia.” 5 kalimat Sam itu membuat Sunny tersentak, lalu tersenyum penuh arti. Letupan di dadanya makin terasa, ia sangat bahagia. Setidaknya, Sunny bukanlah satu-satunya orang yang merasa telah menghianati persahabatan mereka.
“Dan gue tau lo juga masih cinta sama dia, iya kan?” Tanya Sam balik, ia sudah bisa membaca roman di wajah Sunny yang bersemu kemerahan.
Sunny mengangguk semangat. “Gue gak pernah mencintai sesuatu, sebesar gue mencintai Langit.”
“Gue juga. Gak ada yang lebih berharga dari sosok Atlantika dalam hidup gue.” Sam terdiam, lalu terkekeh dengan pikiranya sendiri.“Lucu juga ya, kalo misalnya kita berjodoh sama orang yang kita cintai. Dan orang itu, adalah sahabat kita sendiri.”
“Tapi apa mungkin, kita berjodoh dengan mereka?” Sunny tau, topik ini tak lebih dari sebuah gurauan. Namun ia menyukai gurauan ini, satidaknya karna di dalamnya melibatkan Langit.
“Pasti seru banget.” Ucap Sam tanpa menghiraukan pertanyaan Sunny. “Kita gak butuh kata-kata perpisahan, atau berduka mengenang kisah kita di masa lalu. Karena kita akan melanjutkan persahabatan itu, pada ikatan lebih dalam. Bernama keluarga.”
            “Gue suka impian lo, meskipun itu agak sedikit kekanak-kanakan.”
            Sam dan Sunny pun terkekeh bersama, mentertawakan ocehan mereka sendiri.
            “Bagaimana kalau ceritanya berbalik?” Ucap Sam, nada suaranya berubah serius. “Bagaimana kalau yang berjodoh itu adalah orang yang kita suka, sahabat kita sendiri?” Lanjut Sam.
            “Maksud lo, Tika dan Langit?” Sunny bergeming. Ia mengibaskan tangan di depan wajahnya. “Gak mungkin! Maksud gue, mereka kan gak sedekat lo sama Tika, atau gue sama Langit.”
            “Tapi bisa aja kan?”
            “Mereka gak cocok!” Sunny mulai membenci topik ini. Ia ingat, Langit dan Tika selalu di anggap pasangan paling serasi di sekolah. Hal ini tentu saja membuatnya tidak suka.
“Kenapa enggak?” Tanya Sam heran.
“ Jodoh itu kan harus saling melengkapi, nah kalo mereka? Sama-sama pinter, sama-sama cakep, sama-sama beruntung. Apanya yang harus di lengkapi?” Jawab Sunny dengan nada bete.
            Sam menggeleng. “Justru yang pernah gue denger kaya gini. Kalo ada cowok sama cewek yang punya banyak kesamaan, itu tanda nya mereka jodoh.”
            “Hushh.. Jangan ngomong sembarangan!” Protes Sunny, perasaan tidak sukanya semakin menyembul ke permukaan. Meski faktanya, Tika dan Langit memang kurang dekat. Mereka hanya bicara seperlunya, dan jarang terlihat bersama kalau tidak ada Sam atau Sunny. “Lagian menurut hipotesa gue, Tika itu lebih banyak bergantung sama lo. Dia selalu milih lo dibanding Langit. Lo tau sendiri kan?”
            Sam akhirnya mengangguk-angguk.
            “Tika kan suka banget lagu tanpa lirik. Dan soal nyiptain lagu, lo jago nya.. Jadi gue yakin, kalian cocok.” Sunny tersenyum simpul, Sam membalasnya dengan senyum yang sama.
            “Bagaimana dengan Langit? Kita gak tau perasaan dia kan.” Tanya Sam.
            Sunny menghela nafas. Meski kesal, tapi ia tetap menjawabnya.“Langit itu adil, sikap dia ke Tika dan gue tu sama. Tapi tetap aja, Langit lebih dekat ke gue.”
            “Itu karna lo yang selalu nyosor duluan.”Sam terkekeh tanpa dosa, sehingga Sunny menghadiahinya sebuah jitakan di kepala.
“Langit itu prinsipnya di dekati, bukan mendekati. Jadi wajar dong kalo gue yang nyamperin dia duluan.” Bela Sunny.
“Lagi ngomongin gue ya?”
Sam dan Sunny menoleh ke asal suara, sosok Langit sudah berdiri di belakang gazebo. Keduanya pun beringsut dari sana, menghampiri Langit untuk melepas rindu mereka. Dan sudah bisa dipastikan, jika Sunnylah yang pertama kali tiba di pelukan Langit.
“Gue kangen kangen kangen kangen banget sama lo.” Ujar Sunny hampir sesegukan.
“Gue juga.  5 tahun membuat lo banyak berubah ya Sunn.”
Sunny mengeratkan pelukannya, tangis nya hampir pecah di dada Langit. Ia sungguh sangat merindukan suara itu.
“Heyy udah dong.” Sela Sam.”Emang lo aja yang kangen sama Langit?”
Sunny pun melepas pelukanya dengan berat, memberi giliran untuk Sam memeluk sahabatnya.
“Panjang umur lo, baru aja di omongin udah nongol. Wah, kaya udah jadi bule beneran lo Ngit. Makin putih aja. Kalo gini ceritanya, gue minder sama kulit gue yang item ini.” Ucap Sam seraya terkekeh.
“Gue gak tau, lo niatnya muji atau ngejek. Kulit seputih ini kan pantesnya di cewek.” Cibir Langit ”Gue justru ngiri sama kulit atletis yang lo punya, badan lo juga makin kekar. Keren pokok nya. Eh, kemarin gue liat pertandingan lo di TV, lo hebat Sam.”
Sam melepaskan pelukannya dengan senyum lebar. “Lo lebih hebat, tentu saja untuk bidang akademik. Tuan Profesor.” Langit tergelak mendengar ocehan Sam.
Beberapa waktu kemudian, merekapun kembali mengisi gazebo dengan ocehan tanpa akhir, tentang pengalaman masing-masing selama berjauhan. Sunny duduk tanpa ingin berjauhan dengan Langit, barang sesenti pun. Ia memeluk lengan Langit, dan menatap wajahnya tanpa bosan.
“Aduh, Tika mana ya? Dia udah telat 5 menit dari waktu yang udah di janjikan.” Oceh Sam, seraya melirik gelisah arlojinya.
“Yaelah. Baru juga 5 menit, biasanya kan dia telat 1 jam.” Timpal Sunny, ia terkekeh menyaksikan kegelisahan Samudra.
“Tapi kan di email dia udah janji, untuk datang 30 menit lebih awal. Aduh, gue udah kebelet pengen ketemu dia nih.”
“Itu dia..” Suara berat Langit yang tenang terdengar bahagia. Telunjuknya mengarah pada seseorang yang muncul tergopoh-gopoh dari balik halaman. Sam orang pertama yang meninggalkan gazebo, dan tanpa jeda langsung merengkuh Atlantika kedalam dekapannya lalu memutar-mutarnya sambil tertawa keras.
“Atlantika, laut gue..  Akhirnya kita bertemu, gue kangen banget sama lo.” Pekik Sam bahagia.
Tika tertawa di tengah keterkejutannya, ia tidak menyangka akan menerima sambutan seperti ini dari Sam. “Iya.. Iya.. Gue juga. Aduh Sam, gue sesak nafas nih. Mau gak lepasin gue.”
“So..Sory. Gue terlalu seneng ketemu lo.”
“TIKAA..” Jerit Sunny, dan Tika balas menjerit. Mereka berpelukan sambil meloncat-loncat girang. “ini beneran lo?” Sunny menangkup wajah Tika, dan Tika mengangguk. Mereka kembali berpelukan. Apa saja bisa terjadi dalam meluapkan kerinduan untuk 5 tahun terpisah, termasuk sikap kekanak-kanakan mereka.
“Lo gak di kasih makan ya di Jepang. Kok jadi kurus kaya gini?” Tegur Sunny dengan nada cemas.
“Gue keseringan mikirin kalian, makanya jadi kurus kaya gini.” Gurau Tika sambil terkekeh.
“Gak masalah. Lo tetep kelihatan cantik kok.” Komentar Sam. Da Sunny menyikutnya sambil tersenyum simpul.
“Eh gue datang telat ya? Semuanya udah lengkap belum?” Cerocos Tika.
“Udah lah, lo sih pake acara telat segala. Tuh Langit..” Tunjuk Sunny pada seseorang yang muncul di balik punggung Sam.
Entah mengapa, Tika mendadak kehilangan moodnya saat Langit mendekat. Suasana pun tak semeriah sebelumnya, semua mendadak hening. Langitpun memeluk Tika dengan gerakan canggung.
“Seneng bisa ketemu lo lagi.” Ucap Langit, seraya melepaskan pelukannya.
“Gue juga.” Balas Tika sambil tersenyum kecil. Selanjutnya, Tika lebih memilih menghampiri Sam dan mengobrol panjang dengannya.
*          *          *
“Sunn, kalo kita bisa kuliah di luar negri kaya Tika dan Langit. Lo mau milih negara mana?” Tanya Sam.
“Sudah pasti Prancis lah.” Jawab Sunny mantap seraya mengerling ke arah Langit.
“Hebat mana Prancis sama Jepang?” Kata Sam, bermaksud bergurau.
“Prancis ga ada apa-apa nya di banding Jepang.” Langit angkat bicara.
“Tidak. Justru Prancis lebih hebat.” Kini giliran Tika.
Sam dan Sunny saling berpandangan, heran. Ko jadi saling merendahkan gitu?
“Kalian aneh.” Sunny menggeleng.”Oh iya, gue baru inget. Tika, bukanya lo jatuh cinta banget sama menara Eiffel. Kenapa dulu gak milih kuliah di Prancis, kenapa malah di Jepang?”
“Langit juga.” Timpal Sam sebelum Tika sempat menjawabnya.”Bukan nya lo tergila-gila sama teknologi dan budaya Jepang, ko jadinya milih kuliah di Prancis?”
Langit seperti salah tingkah, ia berdehem kecil. Tika juga sama-sama terlihat gugup. Mereka tampak kesulitan mencari kata-kata yang pas.
“Karena, ada sesuatu yang lebih menarik di Prancis. Kalo kalian gak percaya, dateng aja kesana.” Kata Langit akhirnya.
“Misalnya?”
“Nanti kalau kalian kesana, akan ku tunjukan.”
 “Kesana?” Tanya Sunny sambil merangkul lengan Langit.”Emang lo mau pergi lagi? Jangan dong..” Rengeknya.
“Nggak bisa Sunny, ada banyak tawaran proyek menggiurkan disana. Gue cuma punya waktu 3 bulan pasca wisuda.” Tutur Langit lembut, namun kalimat lembut itu membuat Sunny tercekat hingga kehilangan kata-katanya.
“Jadi lo bakalan hidup disana?” Sam bertanya dengan nada terkejut.
“Belum ten...”
“Sampai kapan?” Potong Sunny cemas.
Langit menggeleng. “Gue gak tau. Soalnya belum pasti sih.”
“Gue gak mau kehilangan lo lagi.” Sunny mendadak lemas, ia menatap Langit dengan mata berkaca-kaca. Membuat ketiga sahabat nya panik.
“Hey hey hey.. Jangan nangis. Kita datang kesini bukan untuk bersedih, iya kan? Lagian, masih ada waktu 3 bulan untuk membuat gue berubah fikiran.” Langit mengusap rambut Sunny, yang lain juga ikut menenangkannya.
Sesudah percakapan itu, Sunny lebih banyak diam. Padahal sebelumnya, dia yang paling banyak bicara. Sampai akhirnya...
“Temen-temen.” Suara Sunny membuat semua mata memandangnya.
“Gue mau buat pengakuan. Sebelum perkumpulan ini selesai...” Sunny mengoper matanya menatap Langit. “Dan sebelum Langit bener-bener pergi lagi.”
“Sunn..” Sam mengerti arah pembicaraan Sunny, dan dia merasa tidak siap untuk ini.
“Gue harus ngomong ini sekarang, Sam! Gak ada waktu lagi.” Ungkap Sunny lemas, Sam hanya menunduk. Ia tampak pasrah dengan apa yang akan dikatakan Sunny.
“Pengakuan apa?” Tika nampak terkejut.
“Sebenarnya...” Sunny melirik Sam, pemain bola itu masih menunduk ragu-ragu.  “Sebenarnya ada cinta yang tumbuh dalam persahabatan kita.”
Semua orang terkejut, terlebih Tika dan Langit. Atmosfir yang terasa selanjutnya adalah ketegangan.
“Ini sudah terjadi sejak lama.” Sunny meneruskan kata-katanya.”Tapi gue dan Sam gak mau merusak persahabatan kita. .”
“Maksudnya, kalian saling jatuh cinta?” Langit tampak membulatkan matanya terkejut. Namun detik selanjutnya, ia tersenyum dan mengangguk. “Kenapa baru bilang sekarang?”
“Bukan.” Tukas Sunny lemas.”Maksudnya, kita saling jatuh cinta pada orang lain. Sahabat kita sendiri.”
Dahi Langit mengerut, sorot matanya memandang Sunny dengan tatapan menuntut penjelasan.
“Dulu, gue pernah jujur sama Tika. Tentang perasaan gue.” Diujung sana, Tika sama sekali tak bereaksi saat namanya disebut. Ia malah menunduk dalam, seperti ada yang di sembunyikan dari raut wajahnya.
”Kalau gue cinta sama lo, Langit.” Lanjut Sunny dengan nada bergetar, ia terlalu gugup untuk menyadari bahwa dirinya menangis saat mengatakan itu.
HENING...
Langit sama sekali tidak bergerak, ia tampak sangat syok. Sunny berusaha mengumpulkan keberanianya, lalu meraih tangan Langit dan menggenggamnya. “Gue gak bisa kaya gini terus, terlebih saat gue tau lo bakal pergi lagi. Gue gak mau jauh dari lo lagi, gue cinta banget sama lo Langit.”
“Dan gue juga mau ngungkapin isi hati gue.” Akhirnya Sam sanggup bicara. Ia harus berterimakasih pada Sunny, untuk kesempatan ini. Kalau Sunny tidak memulai, entah kapan Sam mampu mengatakan itu pada Tika,
“ Sunny bener, gue udah jatuh cinta sama sahabat gue sendiri. Atlantika...” Sam menggenggam jemari Tika dengan segenap keberanianya. Sama seperti Langit, Tika juga sangat terkejut.
Keheningan itu kembali datang tanpa menemui titik akhir jika saja suara Sam tidak memecahnya.
“Jadi, Tika. Tanpa bermaksud menghianati persahabatan kita, lo bisa kan ngertiin perasaan gue?”
Mata Tika tampak berkaca-kaca, tubuhnya menegang. Dan sebelum bulir itu jatuh mengaliri pipinya, Tika memilih beranjak untuk menyembunyikanya.
“Ini, terlalu tiba-tiba.” Ucapnya bergetar. “Sorry, tapi gue harus pulang.” Tanpa menunggu persetujuan, Tika mengambil langkah lebar meninggalkan gazebo. Sam pergi menyusulnya, hingga kini tersisa Langit dan Sunny.
“Mungkin buat lo, ini juga tiba-tiba.” Ucap Sunny. “Tapi buat gue enggak. Perasaan ini udah tumbuh dari dulu. Lo mau kan tetap tinggal disini, demi gue?”
Langit masih tak bereaksi. Hingga akhirnya, tangannya bergerak keluar dari genggaman Sunny. “Bukan lo, Sunny. Gue minta maaf, gue gak bisa.” Perlahan, Langitpun ikut meninggalkan gazebo. Sunny terlalu lemas untuk menyusulnya, penolakan itu membuat hatinya porak poranda.
*          *          *
            Tengah malam buta, saat kedinginan mencapai titik menggigil. Rumah Sam di ributkan dengan suara ketukan yang terkesan mendesak. Sam menghampiri pintu dengan malas, ia membukanya dengan sedikit emosi. Sebelum sempat menyemprotkan emosinya, Sam di kejutkan dengan sosok Sunny yang berurai air mata.
            Detik berikutnya, Sunny mendaratkan tubuhnya dipelukan Sam. Ia menangis meraung-raung di dada Sam. Sam sempat terheran-heran, dan menenangkan Sunny agar ia bisa bicara. Tapi tangisnya malah semakin kencang. Akhirnya Sam pasrah, membiarkan Sunny tenang dengan sendirinya.
            “Sam...” Akhirnya, Sunny bicara. Suara nya terdengar tercekat, dan pedih.
            “Lo kenapa Sunn?”
            “Kalo misalnya, sahabat lo minta sesuatu yang paling berharga dari hidup lo. Apa lo akan memberikannya?”
            Sam mengerenyit. Tapi dia tetap menjawabnya meski sedikit bingung. “Tentu saja, lo seharusnya udah tau jawabanya dari awal. Emang yang lo maksud itu apa Sunn? Lo kenapa sebenarnya?” Desak Sam.
            Sam harus sabar menunggu kalimat selanjutnya dari Sunny, karna ucapannya selalu terputus-putus. “Sam.. Gue, gue, gue minta lo lepasin Tika. Gue mohon..” Sunny melorot di kaki Sam setelah mati-matian menyelesaikan kalimatnya. Ia kembali meraung-raung disana, tampak sangat tersiksa.
*          *          *
            Kemarin, saat Tika pergi dari gazebo. Ia meninggalkan tasnya. Sunny membawa tas itu tanpa maksud mengantarkannya pada Tika, atau pun sekedar menghubunginya. Peristiwa yang telah terjadi, dan patah hatinya membuat Sunny malas melakukan sesuatu.
            Satu-satunya hal yang membuat Sunny menyentuh tas itu adalah suara dering ponsel yang tak kunjung berhenti. Ia pun terpaksa merogoh isinya tanpa bermaksud mengusik privasi sahabatnya. Dering itu berhenti tepat ketika ponsel itu berada di genggaman Sunny. Ada 7 missed call dan 3 pesan disana. Sunny berniat membukanya jika saja layar itu tak di protek dengan kata sandi.
            Sunny sempat terkejut dengan semua barang yang ada di dalam tas itu. Semua sangat berbau Prancis, dengan aksen warna biru. Sunny tampak berbinar saat menemukan buku Diary milik Tika. Namun binarnya meredup, ternyata Diary itu diisi dengan tulisan Jepang yang tak dimengerti. Sunny menyisakan sebuah dompet yang tidak terjamah tangannya, namun karena semua barang sudah di amatinya hingga bosan. Ia pun beralih pada dompet itu.
            Sunny tersenyum menatap foto mereka berempat yang tersemat disana, itu foto sewaktu mereka SD. Sudah lama sekali, bahkan Sunny tak ingat dimana foto itu di ambil. Dari sisi kiri, ada Sam, Tika, Langit, dan dirinya sendiri. Di foto itu, tampak Langit merangkul pundak Tika dengan senyum lebar, hal ini adalah fenomena yang jarang terjadi. Biasanya, Tika dan Langit selalu menjaga jarak bukan?
            Kemudian Sunny iseng mencabutnya dari tempat foto, namun ada yang ikut jatuh dari sana. Sebuah surat biru yang amat usang dan tua.
            Surat itu lebih menarik perhatiannya. Ia pun memungut kertas itu, membuka lipatannya dan mulai membaca isinya. Raut wajah Sunny mulai berubah di awal alinea tulisan tersebut, tangannya bergetar dan matanya memerah. Lalu, nama di akhir surat itu, begitu menohok hatinya. Tanganya terkulai lemas, begitu tak berdaya.
            Surat itu.. Surat Biru dari Langit, untuk Atlantika. Ungkapan Cintanya, 13 tahun yang lalu.
*          *          *
“Mereka saling mencintai sebelum kita mencintai mereka, Sam. Kita adalah sahabat paling bodoh yang tidak menyadari itu.” Ucap Sunny pedih, setelah ia berhasil mengatakan semuanya pada Sam.
“Bukankah hanya Langit yang mengirim surat? Dan Tika tidak meresponnya, itu berarti Tika tidak menyukainya.” Tegas Sam.
“Diantara semua surat yang di alamatkan padanya, Tika lebih memilih menjaga surat Langit. Apa lo masih belum yakin juga?”
“Seharusnya Tika menerimanya, jika dia memang mencintai Langit.” Ucap Sam panik.
“Seharusnya Tika memikirkan perasaan gue, kalo misalnya dia mau nerima Langit.” Tukas Sunny. “Lo tau kan, gue pernah jujur ke Tika soal perasaan gue. Gue pernah liat surat itu di tangan Tika, tepat saat gue berniat jujur ke dia. Dia bilang mau ngomong sesuatu, tapi dia kalah cepet. Gue terlalu bersemangat mengatakan soal perasaan gue.”
Sunny menyambung kata-katanya “Gue bilang gue cinta banget sama Langit, dan gue minta bantuan ke dia supaya gue bisa lebih deket sama Langit. Gue pasti jahat banget waktu itu Sam... Gue terlalu egois untuk menghiraukan perubahan ekspresi Tika. Dia terluka waktu itu, dan gue milih gak peduli.” Sunny terisak lagi, lebih pedih dari sebelumnya.
Sam memijit keningnya. “Belum tentu Sunn, mungkin itu......”
“Apa sih yang masih bikin lo ragu?” Potong Sunny frustasi. “Apa lo bisa jawab kenapa kata sandi ponsel Tika harus di beri nama LANGIT?”
Sam terdiam, ia menolak untuk percaya. Tapi gagal.
“Tika yang malang.” Gumam Sunny melemah. “Karena gue, dia nolak orang yang dia cintai. Kalo bukan karna gue, dia gak harus susah payah ngehindari Langit.”
“Langit yang malang.” Lanjut Sunny, masih mengumam untuk dirinya sendiri. “Dia gak seharusnya di acuhkan oleh orang yang dia cintai.”
Selama Sam terdiam, Sunny terus mengoceh pada dirinya sendiri.
“Tika gak seharusnya kuliah di Jepang, Langit gak seharusnya kuliah di Prancis. Kalo mereka ingin tetap bersama. Oh tuhan, malang sekali mereka...”
“CUKUP SUNNY... HENTIKAN SEMUA ITU.” Sam berdiri dari duduk nya dengan tatapan tajam menghunus, nafasnya naik turun menyiratkan emosi.
Sunny tertawa, cukup membuat Sam bergidik. “Akhirnya lo percaya juga.. Tapi sekedar percaya aja gak cukup. Gue minta lo ngelepasin Tika, buat Langit.”
“GAK SEMUDAH ITU.. Tika bukan Cuma berharga buat gue, tapi dia lebih. Mestinya lo udah tau hal itu.”
“Langit juga. Tapi gue gak mau egois dengan membiarkan orang yang gue cintai kehilangan kebahagiaanya. Gue cinta sama Langit, maka nya gue mau ngelepasin dia.”
Sam membeku, tarikan nafasnya mulai melemah.
“Kita sudah kehilangan mereka selama 5 tahun. Jangan biarkan mereka pergi lagi, gue yakin Tika pasti sanggup membuat Langit bertahan disini. Kita akan berperan sebagai sahabat, sekaligus  orang yang mencintai mereka.” Sunny menyentuh jemari Langit dan meremasnya.
Dalam kepasrahan yang menyayat hatinya, Sam mengangguk dalam. Dan mereka sama-sama tersenyum untuk keputusan mulia itu.
END

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS