PERASAAN YANG ANEH
Malam itu di rumah
baru, Hiro tampak serius mengaduk jus jambu dalam gelas di tanganya. Vanessa
sedang keluar membeli lauk pauk untuk makan malam, hal itu adalah kesempatan
bagi Hiro agar lebih leluasa memasukan bubuk manipulasi pikiran dari Gellar ke
dalam gelas minuman Vanessa.
“Setelah meminum
ini kau akan langsung patuh kepadaku. Hiihihihi.” Hiro terkekeh seorang diri,
suaranya memecah kesunyian dapur yang saat itu tengah sepi.
Type rumah baru yang
di tempati Hiro memang terbilang mungil. Disana hanya tersedia ruang dapur,
satu kamar tidur dan ruang tengah. Dari dapur menuju ruang tengah terdapat
lorong pendek dengan pintu kamar mandi menempel di salah satu dindingnya. Di
ruang tengah kalian akan menemukan sofa yang di tata rapih menghadap ke layar
televisi. Hiro membawa nampan berisi dua piring nasi dan dua gelas air putih ke
ruang tengah lalu menata makananya di meja, ia kemudian kembali lagi ke dapur
untuk mengambil jus jambu tersebut.
Setelah tugasnya selesai Hiro duduk lesehan di depan meja, ia kemudian melirik
jam dinding yang menggantung di atas layar televisi.
“Sebentar lagi dia
datang.” Hiro menggosok-gosokan tanganya sendiri, tiba-tiba saja ia merasa
sedikit gugup.
5 menit kemudian,
sosok Vanessa mucul dari balik pintu. Hiro senang bercampur gugup atas
kehadiranya.
“Kedainya sedang
tutup, jadi aku tidak bisa membeli ayam goreng pesananmu. Hari ini kita makan
dengan sate saja.” Ujar Vanessa seraya menenteng keresek menuju dapur.
“Itu tidak
masalah..” Kata Hiro berusaha bersikap normal.
Tak lama kemudian
Vanessa kembali membawa nampan berisi piring penuh sate dan mangkuk
sayuran seperti selada, ia menempati tempat duduk yang bersebrangan dengan
Hiro.
“Aku tadi membuat
jus jambu, dan ku sisakan sedikit untukmu.” Hiro menyodorkan jus jambu dengan
kegugupan yang berusaha di tutupinya. “Jus jambu bagus untuk kulitmu.”
Vanessa
menerimanya dengan wajah terheran-heran. “Apa kau memasukan sesuatu ke dalam
minuman ini?”
“Aishh, mengapa
kau bicara seperti itu?.” Hiro merasakan tubuhnya menegang, namun ia tetap akan mengelaknya sebisa mungkin. “Tak apa jika kau tidak ingin menerimanya,
hanya saja tolong hargai usahaku dengan berhenti berpikir negatif.”
“Aku bercanda.”
Vanessa meluruskan. “Lagi pula tidak biasanya kau seperti ini.”
“Walau bagaimana
pun kau adalah pemilik rumah ini, tentu aku harus berbuat baik padamu. Jangan
bicara lagi, lebih baik sekarang kita makan.”
Vanessa
mengiyakan, mereka pun menikamati makan malamnya dengan lahap. Beberapa menit
kemudian ketika makanan di piring Vanessa habis, ia pun meraih jus jambu di
hadapanya.
“Terimakasih,
untuk jus jambunya.” Lantas Vanessa meminum habis jus jambu itu tanpa curiga
sedikit pun.
Hiro tersenyum
lega saat melihat jus jambunya di minum habis oleh Vanessa dalam sekali teguk,
ia tak merasakan lagi gugup sedikitpun. Bagus sekali, coba ku lihat akan
bagaimanakah reaksinya? Bisik Hiro dalam hati sambil menatap Vanessa dengan tatapan menyelidik.
Melihat Hiro yang
seakan tidak berkedip ketika memperhatikan dirinya, Vanessa mengerutkan kening.
“Apa yang kau lakukan?” Tanya Vanessa.
Hiro tersentak, ia
terdiam bingung sendiri.
“Cuci piring
sana.” Perintah Vanessa. “Aku yang membeli makanan jadi kau yang cuci piring.”
Hiro lebih bingung
lagi, ia menggaruk-garuk belakang kepalanya yang tidak gatal. Ia terdiam cukup
lama sampai akhirnya membereskan piring kotong di atas meja dan membawanya ke
dapur.
“Dia sudah meminum
habis jus jambunya. Tapi mengapa tidak ada perubahan? Harusnya dia akan langsung bersikap baik padaku.”
Gumam Hiro tak mengerti, ia menyimpan piring kotornya di wastafel dan melamun.
“Apa bubuk manipulasi pikiranya kurang banyak? Ah tidak, sedikit saja bubuk
manipulasi pikiran bisa langsung mempengaruhi pikiran manusia. Kalau kebanyakan
justru akan membuat gangguan mental mereka.”
Hiro tak langsung
mencuci piringnya dan hanya terbengong untuk waktu yang lama.
“Apa aku salah memasukan bubuk manipulasi pikiranya?” Hiro lantas
berbalik, ia bermaksud untuk memastikan bahwa bubuk manipulasi pikiran itu
tidak tertukar. Namun betapa kagetnya dia saat mendapati Vanessa berdiri tepat
di belakangnya.
“A.. Apa yang kau lakukan disini?” Tanya Hiro terbata, ia merasakan
jantungnya hampir lepas dari tempatnya,
Vanessa terdiam, ia melihat sekelilingnya seperti orang linglung.
Tak lama kemudian ia berkata. “Kau istirahat saja, biar aku yang mencuci
piring.”
Hiro membulatkan matanya lebih terkejut lagi, ia kemudian refleks
bergeser untuk membiarkan Vanessa menuju wastafel. Dalam hati Hiro bersorak
kegirangan saat melihat Vanessa dengan seriusnya mulai mencuci piring.
Yes.. Yes.. Yes... Akhinya mantra itu bekerja, aku bebas, aku
merdeka, terimakasih Gellar.
“Kalau begitu aku pergi duluan.” Kata Hiro, setelah Vanessa
mengangguk Hiro langsung beranjak ke ruang tengah sambil berjingkrak ria.
Beberapa kali dia meninju udara sambil berguman Yes.. Yes..
Hiro meregangkan otot-ototnya sebelum membaringkan diri di sofa, ia
tersenyum senang karena mendapatkan ramalan yang baik untuk kehidupanya di masa
depan. Mampu mengendalikan Vanessa adalah hal yang sangat bagus, ia bisa
melakukan apa saja sesuka hatinya.
Beberapa menit kemudian Hiro melihat Vanessa memasuki kamarnya. Biasanya
setelah melihat Vanessa ia akan langsung merasa feelingnya buruk, namun
sekarang berbeda, Hiro jauh lebih senang ketika melihatnya. “Kau akan patuh
mulai sekarang, hahahah.”
* * *
Menjelang pertengahan malam Hiro merasakan temperatur saat itu
menjadi lebih dingin, ia juga merasa tidak nyaman harus tidur di sofa yang sempit. Tiba-tiba saja terlintas dalam pikiranya tempat tidur lebar di kamar
Vanessa pasti lebih nyaman. Dan ketika teringat tentang bubuk manipulasi
pikiran yang sudah diminum Vanessa, Hiro langsung beranjak dari sofa dengan raut wajah bahagia.
“Malam ini aku ingin tidur di kasur. Tidak masalah, lagi pula dia
sudah patuh.” Gumam Hiro saat berjingkrak menuju kamar Vanessa.
Tok... Tok.. Tok... Hiro mengetuk pintu, namun tidak ada sahutan
sama sekali. Hiro mengetuk lagi sampai beberapa kali. Dia kecewa saat menekan
knop pintu ternyata pintu itu di kunci.
Namun tak lama kemudian terdengar suara klik dan pintu terbuka
setengahnya, Vanessa muncul dengan penampilan buruk bersama rambut ikal
berantakan membingkai wajah jeleknya. Untuk kesekian kalinya Hiro merasa
matanya tersakiti melihat pemandangan itu.
“Ada apa?” Tanya Vanessa sambil menguap lebar-lebar, membuat Hiro
berdecak sebal.
“Malam ini aku ingin tidur di
kamar. Seluruh tubuhku sakit dan terlebih lagi malam ini terasa sangat dingin.” Kata
Hiro seraya melengos masuk kedalam kamar tanpa menunggu tanggapan Vanessa.
Kemudian Hiro membaringkan diri diatas tempat tidur, sementara
Vanessa masih terbengong di depan pintu. Beberapa detik kemudian Vanessa
melangkah mengambil bantalnya.
“Kalau begitu aku akan tidur di luar.” Ucap Vanessa.
Hiro yang sebelumnya hampir terlelap, baru sadar akan hal itu. Namun
ia juga merasa tidak enak jika harus membiarkan Vanessa yang tidur diluar. Tak
masalah, untung nya dia jelek, jadi meskipun aku tidur denganya hal itu tidak
akan berpengaruh apa-apa terhadapku. Lagi pula kami pernah tidur bersama dan
memang tidak pernah terjadi sesuatu.
“Tunggu..” Kata Hiro, membuat Vanessa menghentikan langkahnya. Hiro
terbangun lalu menyusun dua guling dan beberapa bantal di tengah-tengah tempat
tidur. “Kau juga tidur disini, ini untuk wilayah kita.”
“Tidak apa-apa, aku akan tidur di luar.”
“Kau adalah pemilik rumah ini.” Hiro berdehem. “Orang lain akan
bilang bahwa aku tidak tahu diri jika membiarkanmu tidur di luar, sementara aku
dengan nyaman tidur di kamar ini.”
“Kau tenang saja, tidak ada orang lain yang akan mengetahui tentang
ini. Bukankah kau juga pernah bilang tak ingin tidur bersamaku?”
Ah benar, biasanya aku bergidik hanya dengan membayangkan tidur
bersebelahan dengan Vanessa. Tapi kenapa sekarang tidak, justru aku malah
mengkhawatirkan yang bukan-bukan. Hiro
memegang kepalanya panik, ia memukul kepalanya beberapa kali dan menggeleng
kuat-kuat.
“Aku tidak jadi tidur disini..” Seru Hiro seraya melangkah dengan
cepat keluar kamar.
“Tapi...” Ucapan Vanessa tidak selesai karena Hiro sudah lebih dulu
menutup pintu dengan keras.
Hiro membantingkan tubuhnya ke sofa karena kesal dengan dirinya sendiri.
Ia meradang saat merasakan jantungnya berdebam-debam hebat.
* * *
Hiro melangkah
terlebih dahulu keluar dari angkot, kemudian di susul Vanessa. Selanjutnya
merekapun berjalan beriringan memasuki gerbang kampus.
Seperti biasanya,
Vanessa akan histeris ketika melihat Samudra berjalan di hadapanya.
“SAMUDRA... AAAA... TUNGGGU AKU!!! Aku akan mengawalmu ke gedung
fakultas Pertanian.”
Hiro sudah hafal di luar kepala kata-kata itu, ia juga ingat dengan
betul bagaimana sumringahnya wajah Vanessa ketika berlari mengejar Samudra.
Bagaikan bunga yang baru saja bertemu dengan hujan. Ngomong-ngomong tentang
hujan, pagi itu langit bulan September tampak mendung sekali.
Saat tiba dikelas, Hiro mendapati Sugeng dan Mario sedang
berceloteh tentang jaket mereka.
“Ayahku membelinya saat berdinas ke Singaphore.” Kata Mario ketika
Sugeng melihat bahan jaketnya dengan penuh ketertarikan.
“Jaket ini tampak biasa saja, tapi karena dari Singaphore terdengar
sangat keren.” Sugeng nyengir, Mario menjitak kepalanya.
“Mengapa harus membeli jaket ke luar negri, harusnya kalian lebih
cinta produk Indonesia.” Ujar Hiro ikut nibrug pembicaraan mereka.
“Hallo pengantin baru..” Hiro mendengus sebal mendengar sapaan
Sugeng. “Tidak usah bad mood begitu, kami sudah memutuskan untuk berhenti
mengolok-olokmu.”
“Baguslah.. Tapi ngomong-ngomong, hari ini kalian kompak memakai
jaket?”
“Tentu saja, musim hujan adalah ajang memerkan jaket.” Seru Mario
bangga.
“Kalau begitu aku juga harus membelinya..” Hiro berpikir, air
wajahnya tampak berubah cerah saat mengingat Vanessa.”Aku akan membelinya.”
* * *
Sepulang kuliah,
Hiro mengajak Vanessa pergi ke salah satu mall terbesar di kota Tasikmalaya.
Seperti dugaanya, Vanessa tidak banyak berkomentar dan mematuhi semua keinginan Hiro.
“Kau punya uang
kan? Hari ini aku ingin membeli jaket.” Kata Hiro ketika sudah tiba di lantai
dua Asia Plaza.
Vanessa mengangguk
dan selanjutnya diam saja.
Ketika keduanya
berjalan beiringan, banyak sekali pengunjung yang memperhatikan mereka. Para
pengunjung itu melempar tatapan kagum kepada Hiro, dan memandang sebaliknya ke
arah Vanessa. Hiro merasakannya dan hal itu membuatnya merasa tidak nyaman.
“Bisakah, kau
menjaga jarak dariku?” Bisik Hiro. “Aku akan pergi duluan, kau ikuti aku dalam
jarak 5 meter. Oke.”
Seperti biasanya,
Vanessa hanya mengangguk patuh.
Hiro melanjutkan
langkahnya dengan tenang, ia merasa jauh lebih percaya diri ketika berjauhan
dengan Vanessa. Setelah itu Hiro banyak melihat gadis-gadis mengerling ke
arahnya, bahkan ada yang terang-terangan ingin merebut perhatian Hiro.
Setelah
mendapatkan jaket yang dimaksudnya, Hiro menyuruh Vanessa untuk melakukan
transaksi pembayaran di kasir.
“Mungkin dia
pembantu yang mengikutinya.” Celoteh salah seorang gadis yang sejak tadi
membuntuti Hiro di mall.
Temannya
menggeleng. “Tapi dia yang membayarnya.”
Hiro bisa langsung
tau bahwa gadis yang dimaksud itu adalah Vanessa.
“Atau mungkin dia
saudaranya.”
“Hihhh, mustahil.
Mereka tidak mirip.”
Hiro berdehem
kemudian bergeser menjauhi Vanessa. Ia ingin berpura-pura tidak mengenal gadis
yang saat itu memang seperti biasa, ikal jelek, baju culun kedodoran, dan
mengenakan kacamata bulat hitamnya.
Aku yakin
Vanessa mendengarnya, ia pasti sangat tersinggung, bohong kalau ia mengatakan
tidak. Hiro menyender pada patung perempuan yang mengenakan dress selutut
berwarna merah bata yang cantik sekali. Hiro kemudian berfikir, ia melihat
patung wanita itu dan Vanessa secara bergantian.
“Tinggi mereka
sepertinya sama.” Ujar Hiro. “Dan merah bata cocok untuk kulit hitam Vanessa.”
Setelah menimangnya matang-matang, Hiro akhirnya memutuskan untuk
mengambil baju itu. “Aku harus memilihkan baju untuk menyelamatkan selera
fashionya, itung-itung sebagai ucapan terimakasih.”
Saat Hiro sedang melihat-lihat baju perempuan yang lain, Vanessa
menghampirinya dan menyodorkan tas berisi jaket milik Hiro. “Ini milikmu,
sekarang kau butuh apalagi?”
“Aku sudah tidak memerlukan apa-apa, justru kaulah yang membutuhkan
banyak hal.” Kata Hiro sambil melempar dress merah batu itu ke arah Vanessa.
“Cobalah baju itu, dan aku akan mencari baju-baju yang lain.”
“Aku sudak memiliki banyak sekali baju di rumah.” Sanggah Vanessa.
“Iya, tapi baju-bajumu itu semuanya tidak layak pakai.” Hiro
bergidik, kemudian melanjutkan aktivitasnya memilih baju-baju. “Cepat sana ke
ruang ganti.”
Vanessa tidak berkomentar apa-apa lagi dan langsung pergi ke ruang
ganti. Hiro menyusulnya tidak lama kemudian setelah mengambil sekitar 5 dress
dengan model yang berbeda.
Hiro menganga tak percaya saat Vanessa keluar dari ruang ganti,
mengenakan gaun merah bata yang di pilihkanya. “Heii berapa tinggimu?”
“173 cm.” Jawab Vanessa.
“Wow kau tinggi juga.” Hiro berdecak kagum. “Selama ini kau juga
tidak kelihatan langsing karena selalu memakai baju kedodoran.”
“Tapi aku tidak nyaman memakai baju seperti ini.” Protes Vanessa.
“Ah sudahlah, kau cocok dengan model pakaian seperti itu. Mulai
sekarang, buang saja baju-baju kusam kedodoran dalam lemarimu dan ganti dengan
ini.” Hiro menunjukan baju-baju di tanganya, Vanessa membulatkan matanya tak
percaya.
“Mengapa kita harus membeli sebanyak itu?” Vanessa terkejut bukan
main.
“Memangnya kenapa? Kakekmu kan kaya, dia juga pasti senang dengan
perubahanmu, aku jamin.”
“Tapi seprtinya ini berlebihan..”
Hiro mengetuk dagu
dengan jarinya saat melihat Vanessa dari ujung kaki hingga ujung rambut. “Hmmm, sepatu jelek dan tas emak-emakmu masih merusak pandangan
mataku. Kita cari barang-barang yang lain oke.” Serunya tanpa menghiraukan
ekspresi keberatan Vanessa.
Satu jam kemudian,
kedua tangan Vanessa sudah di penuhi tas belanjaan. Sementara Hiro masih
antusias mencari-cari barang yang menurutnya cocok dengan Vanessa.
“Hiro, kita sudah
belanja terlalu banyak. Apalagi yang ingin kau beli..” Protes Vanessa yang
tampak sudah kelelahan.
“Baiklah-baiklah,
tapi masih ada satu lagi yang kurang. Hmmm ayo kita ke salon untuk memperbaiki
wajah buruk rupamu itu.”
“TIDAAAK..” Kali
ini Vanessa tampak habis kesabaranya. “Kau bisa meminta hal yang lain tapi
tidak dengan menyuruhku pergi ke salon!”
Hiro tersentak
kaget, namun ia sadar sudah bertindak terlalu jauh. “Iya.. iya aku mengerti. Ke
salon terlalu berlebihan, lagi pula prosesnya akan lama.”
“Jika sudah
selesai kita pulang sekarang.”
“Sebentar, satu
lagi.” Hiro kemudian menarik Vanessa ke suatu tempat, yaitu toko kecantikan.
“Aku ingin membeli
semua alat kecantikan yang bisa memperbaiki penampilanya.” Kata Hiro kepada
salah satu pelayannya, seraya menunjuk ke arah Vanessa. Vanessa mendelik tajam
kepadanya, kentara sekali bahwa ia sangat marah.
Hiro tersenyum senang dan berbisik ke arah Vanessa. “Kalau kau
tidak ingin pergi ke salon, biar aku saja yang mendandanimu.”
Vanessa memutar bola matanya, lalu mendengus sebal ke arah Hiro.
* * *
Setelah makan
malam, Vanessa langsung pergi ke kamarnya tanpa minat menyentuh barang-barang
yang di pilihkan Hiro untuknya. Justru Hiro sendirian yang sibuk memilihkan
baju Vanessa untuk dipakainya besok, sambil terkekeh panjang Hiro membayangkan
ekspresi marah Vanessa yang di tahan. Ia
senang sekali bisa mengendalikan hidup Vanessa seperti itu.
“Suatu saat kau
pasti akan berterimakasih padaku.” Kata Hiro percaya diri.
Saat itu ia
menyentuh alat-alat kecantikan yang tadi dibelinya, lantas Hiro mendadak
kebingungan.
“Aku tidak mengerti soal make up perempuan.” Hiro menghembuskan
nafas panjang. “Vanessa pasti akan menolak memakai make up ini jika bukan aku
yang mendandaninya.”
Hiro kemudian berpikir lama sekali sampai akhirnya ia berujar
dengan nada putus asa. “Aku akan mulai dari wajahku sendiri untuk belajar
mendandani Vanessa.”
Setelah itu Hiro membuka semua alat kecantikannya satu persatu, membaca petunjuknya kemudian diaplikasikan pada wajanya sendiri.
Setelah itu Hiro membuka semua alat kecantikannya satu persatu, membaca petunjuknya kemudian diaplikasikan pada wajanya sendiri.
30 menit kemudian, Hiro mentertawakan wajahnya sendiri yang ia
lihat dari pantulan cermin kecil di tanganya. Bedaknya terlalu tebal sehingga
wajah Hiro kelihatan aneh, lipstiknya belepotan dimana-mana, maskaranya juga
berantakan, kelopak matanya penuh dengan warna warni berbeda, sementara itu
alisnya juga tidak sinkron satu sama lain. Hiro tidak berhenti tertawa melihat
wajahnya.
Ceklek.... Pintu kamar Vanessa terbuka, Hiro luar biasa terkejut
samapai-sampai ia jatuh dari sofa. Sementara itu Vanessa tertegun di depan
pintu saat melihat wajah Hiro, selang beberapa detik kemudian tawanya pecah.
“Hahahahahahahha apa yang kau lakukan dengan wajahmu?” Vanessa
terpingkal-pingkal memegangi perutnya.
Hiro yang tadinya juga tertawa kini tampak salah tingkah saat
berusaha menghapus make up di wajahnya. Ia tak bisa memungkiri bahwa harga
dirinya telah jatuh, Vanessa memeregokinya dalam kondisi yang seperti ini
adalah suatu hal yang sangat memalukan. Melihat tingkah Hiro yang seperti itu
tawa Vanessa semakin menjadi.
Tanpa sengaja retina mata Hiro menangkap sosok Vanessa dan diam
disana untuk waktu yang lama. Vanessa manis saat dia tertawa. Hiro tersadar kemudian menundukan wajahnya bergidik dan langsung memukul pipinya sendiri. Apa
yang kau pikirkan? Sadarlah! Sadarlah!!!!
* * *
Sepanjang pagi itu
Vanessa memang tidak banyak berkomentar saat Hiro mendandaninya. ia memakai
baju, sepatu dan tas yang dipilihkan Hiro, mengganti kaca matanya dengan lensa kontak, ia juga tak keberatan ketika
Hiro menyatok rambut ikalnya. Hanya saja Vanessa berhasil membuat Hiro jengkel
karena ia terkekeh sepanjang waktu, sedikit-sedikit tertawa, Hiro merasa
Vanessa sengaja mengolok-oloknya.
“Ayo berangkat..”
Kata Hiro setelah selesai menyatok rambut Vanessa, meskipun tetap ikal hanya
saja tidak terlalu mengembang seperti sebelumnya.
“Wajahku belum di poles
bedak..” Kata Vanessa kemudian terkekeh mengejek Hiro.
Hiro mendengus, ia
bahkan tidak mau lagi menoleh ke arah Vanessa saat melangkah keluar rumah. Vanessa
menyusul dalam keadaan yang masih terkekeh. Hiro merasakan jengkel yang luar
biasa, ia berbalik pada Vanessa untu memarahinya. Namun yang terjadi ia hanya
diam saja, kata-katanya tidak keluar. Vanessa tampak berbeda dengan dress
selutut berwarna coklat, sepatu pentopel yang senada dengan bajunya, serta
membawa tas yang cantik. Rambutnya lebih rapih dari biasanya meskipun tetap
ikal.
“Andai saja kau
punya gen kulit putih.” Gumam Hiro tanpa sadar.
“Apa?” Tanya
Vanessa setelah kekehanya usai.
“Tidak.. Tidak
apa-apa. Ayo cepat kita berangkat sebelum kesiangan.”
* * *
Seperti yang sudah
di perkirakan Hiro, anak-anak di kampusnya menatap Vanessa dengan pandangan
berbeda. Mereka justru cenderung melongo melihat perbedaanya, bahkan Samudra
yang berjalan di depan gerbang sempat menoleh sebentar kepadanya. Meski tetap
mempertahankan sikap cueknya, namun Hiro bisa melihat ekspresi terkejut di
wajah Samudra.
“SAMUDRA... AAAA... TUNGGGU AKU!!! Aku akan mengawalmu ke gedung
fakultas Pertanian.”
Hiro menatap kepergian Vanessa lalu berujar pada dirinya sendiri. “Seandainya
kau tahu bahwa anak itu Vampire, apa yang akan terjadi?”
* * *
Jadwal kuliah
Vanessa mengharuskanya di kampus sampai sore, Hiro yang saat itu selesai pukul
13.00 memutuskan untuk menunggunya. Hiro berdalih dengan alasan rasanya aneh
jika berada di rumah sendirian. Sambil menunggu, Hiro berkeliling untuk mencari
jejak-jejak keberadaan Black Fairy. Sesekali dia datang mendekati gadis kampus
yang menjadi kandidat Black Fairy pilihanya, namun tak satupun dari mereka
menunjukan tanda-tanda mencurigakan.
“Kurasa Black
Fairy hanya muncul jika terjadi sesuatu di tempat ini, tidak ada gunanya aku berkeliling
kesana kemari mencarinya.” Keluh Hiro putus asa.
Akhirnya ia
memutuskan untuk pergi ke gedung kesenian menunggu Vanessa disana, dan ternyata
saat tiba di sana tak sampai 10 menit kelas Vanessa sudah selesai.
“HIROOOO...” Gisel
dan Yesi berseru memanggilnya, mereka berdua kemudian mengerumuni Hiro dan
mencubit-cubit pipi nya. Mahasiswa lain yang sekedar lewat tampak memandangi Hiro
tertarik, membuat Hiro tidak nyaman.
“Apa kau yang
mendandani Vanessa?” Tanya Gisel antusias, Hiro mengangguk sedikit sebagai
jawaban.
“Wahh selera
berpakaianmu bagus sekali, kau memilihkan model yang cocok untuk Vanessa.” Seru
Gisel.
“Bisakah kau
mendandaniku juga? Aku juga ingin memakai baju seperti Vanessa, belikan satu
untuku.” Yesi mengerling kepada Hiro.
Hiro memutar bola matanya, ia tidak habis pikir dengan apa yang di
katakan Yesi. Melihat badannya yang seukuran badak jawa bagaimana bisa dia
berpikiran untuk mengenakan baju seperti Vanessa
“Aku juga ingin di dandani seperti Vanessa.” Gisel ikut-ikutan.
“Hari ini banyak sekali yang memuji penampilan Vanessa, ia tidak seperti
biasanya.”
Hiro kebingungan merespon permintaan mereka, tapi untungnya
kehadiran Vanessa dan Hani berhasil menyelamatkanya.
“Sebaiknya kalian juga menikah jika ingin didandani seperti
Vanessa.” Kata Hani menengahi.
“Aku memang akan menikah.” Gisel menjulurkan lidahnya. “Aku akan
menikah dengan Hiro jika dia sudah menceraikan Vanes.”
“Sebelum denganmu, ia akan menikahiku dulu.” Geram Yesi. “Lagi pula
aku sudah berpesan kepada Vanessa untuk memberikan Hiro padaku setelah bercerai
nanti.”
“Tidak boleh... Yakk Vanessa, kenapa kau tidak menghargai
perasaanku. Harusnya kau tidak boleh mengizinkan Yesi melakukan itu.” Protes
Gisel.
Hani dan Vanessa hanya tertawa melihat pertengkaran kecil Yesi dan
Gisel, sementara Hiro nampak frustasi berada di tengah-tengah mereka.
“Memang kalian pikir aku ini apa?” Protes Hiro nampak putus asa.
“Kau adalah calon suamiku Hiro. Tenanglah, aku sedang berusaha
memenangkan hak menikah denganmu lebih dulu.”
“Cepat bawa Hiro pergi dari sini, kasihan dia.” Kata Hani pada
Vanessa.
Sambil tertawa Vanessa menarik Hiro dari tengah-tengah Gisel dan
Yesi yang masih cekcok.
“Hei kamu mau bawa kemana calon suami aku Nes?” Teriak Yesi saat
Vanessa mempercepat langkahnya bersama Hiro, Vanessa tidak menghiraukanya, dia
hanya tertawa.
“Sadarlah, tidak ada seorangpun diantara kalian yang akan dinikahi
Hiro.” Hani tertawa mengejek, ia kemudian mengapit tangan Yesi dan Gisel ke
arah berbeda.
* * *
Setelah mampir di
salah satu kedai untuk membeli beberapa lauk pauk, Hiro dan Vanessa berjalan
beriringan menuju rumah mereka.
“Gisel bilang hari
ini banyak yang memuji penampilanmu.” Kata Hiro.
Vanessa mengangkat
bahu. “Benar, dan itu sangat menggangguku. Aku tidak suka jadi pusat perhatian.”
“Tapi kau juga
tidak bisa hidup seperti sebelumnya. Terkadang, kita memang harus melakukan hal
yang tidak kita inginkan agar bisa dihargai orang lain.” Hiro terdiam, ia
menerawang mengingat kisah hidupnya. “Aku pun demikian. Demi bisa dihargai oleh
kaumku sendiri, aku terpaksa harus berbaur dengan makhluk yang paling kubenci.”
Vanessa menatap
Hiro tak mengerti. “Maksudmu?”
Hiro menatap kosong
jalanan yang membelah area perumahan, pikiranya mengorek lagi kenangan di dunia
bawah tanah, ia membayangkan wajah saudara-saudaranya satu persatu.
“Kau tahu kan
bahwa aku punya banyak saudara?” Kata Hiro. “Diantara kami, hanya aku yang
berbeda.”
“Berbeda
bagaimana?”
“Aku yang paling
lemah dan hanya aku yang tidak punya kelebihan. Kehadiranku tidak diterima
kaumku sendiri, oleh karena itu aku diasingkan ke tempat ini.”
“Siapa bilang kau
tidak punya kelebihan?” Tegas Vanessa. “Kau punya kelebihan yang tidak dimiliki
orang lain hanya saja kau tidak menyadarinya, kau hanya perlu menambah
kepercayaan dirimu maka kelebihanmu itu akan muncul dan kau bisa merasakanya.”
Hiro mengangkat
wajahnya dan menatap Vanessa dalam-dalam. “Saudaraku pernah mengatakanya juga dan
aku bisa langsung tahu bahwa mereka berbohong. Tapi saat kau yang mengatakanya,
entah mengapa aku tidak bisa merasakan kebohongan dalam suaramu.”
“Itu karena aku
mengatakan hal yang sebenarnya.”
“Kau benar-benar
percaya bahwa aku punya kelebihan?” Tanya Hiro denga nada bergetar.
Vanessa
mengangguk, ia kemudian melempar senyum ke arah Hiro. Senyum itu, entah mengapa
begitu indah di mata Hiro. Untuk pertama kalinya aku mendengar kejujuran
disertai senyuman paling tulus, dan itu semua hanya bisa kudapatkan dari
Vanessa seorang. Tiba-tiba Hiro merasakan hatinya menjadi tenang, raganya
luluh dan terasa ringan sekali seakan semua beban dalam hidupnya menghilang satu persatu. Senyuman yang ajaib, ia ingin
sekali mendekatkan senyuman itu ke dalam hatinya agar bisa menenangkan jantung
yang berdebam-debam hebat tidak karuan.
“HIRO................”
Teriak seorang gadis tepat di depan halaman rumah Vanessa.
Panggilan itu membuyarkan lamunan Hiro seketika, ia kemudian
mengalihkan pandangan matanya dari wajah Vanessa dengan berat hati. Tanpa sempat
mengenali sang sumber suara tiba-tiba saja gadis itu menghambur ke dalam
pelukan Hiro, membenamkan wajahnya di dada Hiro. Tentu saja hal itu membuatnya
kaget bukan main.
“Ini aku.” Gadis
itu mengangkat wajahnya dalam posisi masih memeluk Hiro. Di wajah itu Hiro bisa
menemukan mata yang benig, pipi mulus dan merona dengan rambut tergerai indah,
sangat cantik seperti boneka Barbie.
“Kau masih ingat?” Tanya gadis itu dengan suara manja.
“Kau masih ingat?” Tanya gadis itu dengan suara manja.
Hiro masih
terbengong memandangi wajah cantik yang hanya berjarak beberapa senti dari
wajahnya. Antara kaget bercampur bingung membuat kemampuan sensoriknya
berkurang, sehingga ia sulit memahami apa yang terjadi, apalagi harus sekedar
mengingat gadis itu.
“Ini aku, yang
waktu itu kau culik dari pementasan drama.” Gadis itu mengerling.
Hiro membulatkan
matanya tak percaya, ia semakin dibuat terkejut dengan pengakuan gadis itu. Hiro
baru bisa mencerna apa yang terjadi setelah beberapa detik kemudian, refleks ia
melepaskan pelukan gadis itu dan menghindar. Setelah Hiro melihat dengan jelas
gadis itu, ia bisa memastikan bahwa pengakuanya memang benar. Ia bisa mengenali
gadis itu dari wajah dan tubuh idelanya yang seperti barbie. Namun yang
membuatnya heran adalah, apa yang dilakukanya di tempat ini?
“Sea...” Panggil
Vanessa dengan nada terkejut, dan gadis itu langsung berpaling padanya. Ia
kemudian melempar senyum akrab ke arah Vanessa, lalu menghampirinya.
TBC
Seperti janjiku,
Chapter 7 akan di share secepatnya. Alhamdulilah berkat dukungan dari kalian aku
bisa merampungkan chapter ini dengan segera. Terimakasih untuk kritik dan sarannya
J Semoga Chapter ini bisa menghibur dan tidak
mengecewakan kalian. Sampai jumpa di chapter selanjutnya J
Sedikit bocoran
tentang cerita di chapter selanjutnya. Kehadiran Sea membuat Hiro semakin
bimbang dengan perasaanya terhadap Vanessa. Namun selain dari masalah itu,
konflik lain datang dengan adanya pembunuhan yang terlupakan merenggut nyawa
orang terdekat Hiro. Siapakah orang itu dan bagaimana reaksi Hiro kepada
Samudra? Temukan jawabanya di chapter 8 yang mudah-mudahan bisa diselesaikan
secepatnya.
0 komentar:
Posting Komentar