Diberdayakan oleh Blogger.

Popular Posts

Weekly post

CERPEN KELUARGA


JEMBATAN HARAPAN
            Namaku Aika Mila, ketika menulis ini usiaku sudah 21 tahun. Tercatat sebagai mahasiswi Semester 4 sebuah perguruan tinggi di Kota Tasikmalaya. Sekarang ini aku tengah kesusahan membagi waktu antara kuliah, menjadi guru les di dua tempat, mengurus kebun tomat di belakang kost, dan menggambar doodle untuk para costumer, serta sedang berusaha menulis kembali. Aku adalah pribadi yang aktif dan optimis, dibesarkan dengan kasih sayang melimpah dari kedua orang tua. Bapakku adalah seorang karyawan sebuah perusahaan yang mengelola perkebunan karet, beliau senantiasa memenuhi semua keinginanku sejak kecil. Ibuku seorang ibu rumah tangga biasa, kami tinggal di sebuah desa dekat pesisir pantai di Kabupaten Tasikmalaya.
            Setelah lulus SMP tahun 2012 lalu, aku melanjutkan pendidikan ke sekolah yang aku inginkan tepatnya di salah satu SMA terbaik di Kota Tasikmalaya yang letaknya jauh dari rumah. Ibuku sebenarnya tidak menyetujuinya, berbeda dengan bapak yang selalu mengiyakan apa yang aku minta. Oleh karena itu aku sangat menyayangi dan menghormati bapakku dan aku berusaha untuk tidak pernah mengecewakanya. Semasa SMA itu aku belajar dengan rajin dan melakukan yang terbaik demi bapakku, sehingga senantiasa masuk 3 besar di kelas.
            Sebenarnya keluargaku bukanlah jenis orang yang menjunjung tinggi pendidikan, bahkan cenderung mengesampingkanya. Bapakku lulusan SLTA dan ibuku hanyalah lulusan SD, aku bahkan tidak memiliki sanak saudara yang lulus perguruan tinggi. Mungkin hanya aku seorang yang memiliki pandangan berbeda bahwa pendidikan itu sangatlah penting, pendidikan mampu mendongkrak kehidupan seseorang menjadi lebih baik, dan tentu saja pendidikan bisa mengubah kondisi hidup seseorang di masa depan. Sampai akhir lulus SMA aku masih haus akan ilmu pengetahuan dan aku ingin melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi. Tapi hal itu dilarang keras oleh ibuku.
            “Dari pada di pake daftar ke perguruan tinggi, lebih baik uangnya di pakai beli kasur yang empuk saja.” Ucap ibuku disuatu pagi, hatiku tertohok dan rasanya begitu miris mendengar kalimat tersebut.
            Kemudian aku menarik nafas panjang, dan berkata dengan nada sungguh-sungguh untuk menimpalinya. “Bu.. Kalau uang itu di pakai beli kasur, tunggu 5 atau 10 tahun barang itu akan rusak. Tapi kalau ibu ikhlas menggunakan uang itu untuk pendidikan aku, inshaallah bisa bermanfaat seumur hidup.”
            Ibuku tidak berkata apa-apa lagi, sejak itu aku berfikir keras apa yang membuat semua keluargaku tidak begitu merespon baik keinginanku melanjutkan studi. Aku tidak pernah mengecewakan mereka, aku selalu berprestasi dikelas, bahkan guru-guru di sekolahku optimis jika aku akan lulus Universitas terkemuka. Apa yang membuat mereka ragu? Jika itu soal biaya, kurasa keluarga kami tidak terlalu miskin. Bapak-ku baru saja membeli sebuah mesin traktor sawah yang harganya belasan juta dengan uang cash, lalu merenovasi rumah, dan membuatkan ibuku sebuah bangunan di halaman rumah untuk warung kecil-kecilanya. Apa aku salah jika meminta separuh dari uang itu untuk daftar ke perguruan tinggi?
Tapi tidak apa jikapun semua orang tidak menyukai pandangan dan keinginanku, aku masih punya bapak yang selalu mendukungku, mengiyakan semua keputusanku, dan mengabulkan semua keinginanku. Sampai pada suatu hari Bapak mengajaku bicara.
            “Aika.. Lulus SMA mau enggak jadi sekertaris desa? Soalnya sekertaris yang sekarang di tarik ke kantor kecamatan.” Ujar Bapak tanpa menyadari ekspresiku yang kaget bercampur sedih.
            Aku terdiam, mendadak tubuhku lesu. Apakah bapak juga tidak setuju bila aku ke perguruan tinggi? Apa kali ini bapak tidak akan mengabulkan keinginanku lagi?
            “Atau mau kerja di Kota? Bapak sudah ngobrol kok sama pak Toni yang kerja di perusahaan XXX.”
            Mataku mulai memanas, aku terdiam untuk beberapa saat.
            “Bapak, tidak bisakah aku kuliah saja?” Kataku dengan nada bergetar seraya menundukan kepala tanpa berani menatap langsung ke matanya.
            Bapak tidak langsung menjawabnya, sehingga kesunyian menggantung diantara kita berdua untuk beberapa saat.
            “Kalau kamu kerja…” Kata bapak memecah kesunyian. “Beban bapak akan berkurang dan bapak tidak akan kerepotan lagi.”
            JLEBB… Seperti berton-ton batu gaib ambruk menimpa tubuhku. Mendengar bahwa aku hanyalah beban sekaligus hal yang merepotkan bagi seseorang yang menjadi satu-satunya harapanku, penyemangatku, dan motivasi terbesarku melanjutkan kuliah. Rasanya belum pernah aku sekecewa dan sesakit itu, hilang sudah semua impianku, musnah sudah harapanku, kini semuanya gelap.
            Seketika hatiku menjerit. Bapak… Aku selalu berusaha membuat bapak bangga.. Aku selalu menjadi anak baik yang tidak pernah mengecewakan Bapak… Aku tidak nakal dan aku tidak terlalu bodoh untuk pantas duduk di perguruan tinggi. Itu semua juga demi bapak.. Aku ingin sukses demi membahagiakan bapak dan ibu.
Sejak saat itu aku menutup diri dari semua orang.
            2 minggu lamanya sampai aku bisa menerima kenyataan pahit itu, dengan berat hati akhirnya aku melepas mimpiku masuk ke perguruan tinggi. Setelah menimang cukup lama aku pun memutuskan untuk bekerja di perusahaan XXX. Meskipun tidak yakin dengan masa depanku selanjutnya, harus bagaimana lagi karena aku tidak memiliki pilihan. Kemudian akupun mengatakannya kepada bapak.
            “Tidak perlu nak, kamu masuk perguruan tinggi saja sesuai keinginanmu.” Jawab bapak membuatku terheran-heran.
            “Aku sudah menerimanya kok, kalau memang memberatkan buat Bapak aku kerja saja dulu. Tidak apa-apa tidak kuliah juga, bisa nanti tahun depan.”
            Tapi bapak bersikeras menyuruhku kuliah, bahkan ia membantuku masuk ke salah satu perguruan tinggi negeri di Kota Tasikmalaya. Dan setelah mengikuti beberapa tahap tes masuk akhirnya aku dinyatakan lolos dan tercatat sebagai salah satu mahasiswi di perguruan tinggi tersebut. semua rasa kecewa dan sedihku perlahan-lahan memudar. Aku tidak tau bagaimana cara mengungkapkan rasa bahagiaku waktu itu.
            Beberapa waktu kemudian setelah itu, ketika aku menjalani aktivitas sebagai mahasiswa di semester satu, aku tidak sengaja bertemu dengan Rani di alun-alun kota. Rani adalah anak dari rekan kerja bapakku di kantor, dia 2 tahun lebih tua dariku.
            “Teh Rani apa kabar? Ada keperluan apa di Tasik?” Tanyaku terheran-heran, karena yang aku tahu Rani sedang kuliah di Bandung.
            “Aku lagi nyari kerja Ai di Tasik.” Jawabnya dengan raut wajah sedih.
            “Kerja? Lho, bukankah teh Rani itu kuliah ya?”
            “Semester ini berhenti kuliahnya soalnya keadaan ekonomi keluarga sedang buruk. Bapak tidak punya biaya untuk membayar semesteran, dan biaya hidup di Bandung cukup mahal.”
            Aku menatapnya dengan rasa simpati. “Kenapa bisa begitu teh?”
            “Wajar saja karena harga getah karet di pasaran anjlok. Tahun ini bahkan sampai mencapai Rp. 4.000,- perkilonya. Teteh kasihan sama bapak, belum lagi masih ada adik-adik teteh yang harus di biayai sekolahnya. Oleh karena itu teteh memutuskan untuk berhenti kuliah dan bekerja saja.”
            Aku langsung teringat dengan bapakku, karena mereka bekerja di perusahaan yang sama tidak menutup kemungkinan kalau penghasilan bapak kini tidak jauh berbeda dengan bapaknya Rani. Detik selanjutnya nafasku terasa sesak dan mataku mulai berkaca-kaca.
            “Kok aku baru tahu hal ini ya teh, jangan-jangan Bapak juga kesulitan membiayai kuliahku.”
            “Mungkin bapak kamu punya kerjaan sampingan yang lain Aika.” Ucapnya menenangkan. “Sudah jangan berpikir macam-macam, fokus saja dengan kuliahmu ya.”
            Dari sana aku mulai mencari tahu tentang harga karet di pasaran. Betapa mencengangkan bahwa harge karet memang benar-benar turun drastis, menurut data dari kementrian perdagangan (Kemendag), saat ini harga karet hanya berada pada level USD 1,5 perkilogramnya. Padahal pada 2011 harga karet pernah mencapai USD 4,61 perkilogram. Detik itu juga pikiranku dipenuhi dengan perasaan bersalah dan penyesalan, bapak pasti sedang kesusahan sekarang, dia harus bekerja banting tulang untuk membiayaiku.
            Kemudian aku menelepon bibiku, adik bapak yang juga bekerja di perusahaan karet sebagai bawahannya. “Bi katanya penjualan karet sedang sulit ya? bapak pasti bekerja lebih keras dari sebelumnya.”
            “Kalau itu sih sudah dari dulu kacau, harga karet terus turun bahkan anjlok. Bapakmu sampai kebingungan harus bagaimana untuk menutupi kerugian.” Ujar bibi di telepon, menambah rasa bersalahku pada bapak.
            “Di tambah biaya kuliahku, bapak pasti makin kebingungan..” Ujarku dengan tangis tertahan.
            “Biasanya bapakmu hanya memonitor para pekerja, tapi sekarang ini dia ikut terjun langsung ke perkebunan menyadap karet dengan tangannya sendiri. Katanya untuk biaya kuliahmu.”
            Tes.. Air mataku jatuh tak tertahan lagi, membayangkan bapakku yang kini tak lagi muda harus pergi ke perkebunan memeriksa pohon demi pohon, mengangkut hasil getah karet yang berat menuju ke pabrik, belum lagi bila panas atau hujan, bapakku pasti kelelahan.
            “Sebenarnya…” Kata bibi menambahkan. “Keputusan bapakmu untuk mengkuliahkan kamu sangat di tentang oleh keluarga, bahkan bapakmu harus bertengkar dengan ibunya sendiri hanya untuk memenuhi keinginanmu masuk perguruan tinggi. Tak ada satupun sanak saudara yang merespon baik keputusan bapakmu membiarkan kamu kuliah, mereka menganggap hal itu hanya membuang uang dengan sia-sia”
            Hatiku mencelos, begitulah keluargaku. “Kalau tetap ditentang kenapa bapak masih mau mendaftarkanku ke perguruan tinggi? Padahal waktu itu aku sudah ikhlas kerja dulu.”
            “2 minggu lamanya kamu menutup diri, bagaimana mungkin bapakmu diam saja. Bapakmu sangat mengerti impian dan cita-citamu, lalu ia bekerja pontang-panting kesana kemari mencari uang agar kamu bisa kuliah. Bapakmu yang membangun jembatan agar kamu sampai menuju harapanmu, jangan pernah kamu kecewakan dia Aika..”
            Aku menangis tersedu-sedu, kemudian aku melihat barang-barang tidak penting yang aku beli dari uang bapakku, aku duduk di kasur yang empuk, aku santai-santai sementara disana bapakku sedang bekerja keras. Aku bermain, aku tidur di kelas, aku tidak memperhatikan pelajaran sementara bapakku dengan putus asanya kebingungan mencari uang. TIDAK! Bapakku tidak boleh berjuang sendirian, bapakku tidak boleh dikalahkan orang-orang yang meremehkannya keputusannya untuk mengkuliahkanku. Aku harus sukses dan membuktikan bahwa bapak tidak salah pilih dengan keputusannya. Aku harus ikut membangun jembatan itu agar beban bapak berkurang, aku akan sampai di tempat yang aku harapkan dengan jembatan yang sama-sama kami bangun.
            “Bi, aku berjanji tidak akan pernah mengecewakan bapakku.”
            Dari sana aku bertekad dengan sungguh-sungguh, kupatrikan disanubari bahwa aku siap menghadapi perjuangan yang lebih keras dan melelahkan. Aku mengubah kebiasaan tidak bergunaku dengan sesuatu yang produktif dan menghasilkan uang, Setiap kali ujian aku tidak membaca buku, melainkan menghafal seluruh tulisanya sampai isi kepalaku tidak sanggup menampungnya. Dan sekarang aku tiba di titik ini, penerima beasiswa mahasiswa berprestasi dan lulusan terbaik dengan IP 3,81. Mungkin ini memang belum pantas menjadi tolak ukur kesuksesan, tapi aku tau bahwa dengan ini saja Bapak dan Ibu pasti sudah cukup bangga.


*Cerita yang mengantarku menjadi juara favorit What A Life Indonesia.


  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Dialog Story Telling



STORY TELLING

“Lutung Kasarung”

The excellency all the lecturer of Poltekkes
The honorable all of the jury
And the respectable all the organizing committee
Happy Audience.. Assalamu’alaikum wr.wb
All praises is due to Allah, the Lord of the world. Now let me introduce my self, my name is Ai Nurkamila and I am from Dental Nurse Department. Today I want to tell a story about the folklore with the tittle Lutung Kasarung.
Long time ago in west Java there was a kingdom, the king of the kingdom is Prabu Tapa Agung. He had two beautiful daughters, Purbararang was his first daughter and the second daughter’s named is Purbasari.
When Prabu Tapa Agung was about to pass away, he gave the throne to second daughter. Purbararang didn’t agree with her father decision.
“That should be me, father! Because I am the eldest daughter.” Said Purbararang.
The king was smiled. “My lovely daughter Purbararang… To be a queen takes more than age, there are many other qualities.”
“So, what does Purbasari have that I don’t” Purbararang pouted.
And the king answered. “You’ll se if Purbasari replaced me.”
After that, Purbararang discuss with her future husband she call Indra Jaya. They got a bad idea to harmful Purbasari. Then Purbararang asked the witch to cast a spell to Purbasari. Next day Purbasari had a strange skin disease, there were many black dots on her skin. So Purbararang had a reason to tell the king that her sister had a great sin and she was cursed by god.
“A person who is cursed doesn’t deserve to be a queen.”
Then, Prabu Tapa Agung ordered Purbasari to the jungle. Purbasari was very sad, but she accompany by many good animals in there. One of the animal, there was a monkey that always to tried help her. It was not just an ordinary monkey, because he have a magical power. The monkey’s name is Lutung Kasarung.
One day Lutung Kasarung invited Purbasari to the small lake and asked her to take a bath in there. And amazingly, all of the strange skin disease was gone, so Purbasari has got a beautiful skin back. After that she was returned to her kingdom.
Purbararang was very shocked and angry, she come up with another bad idea. “Those who have longer hair will became a quen.”
Evidently Purbasari had a longer hair. But Purbararang didn’t give up.
“Purbasari, a queen must have a handsome husband. If my fiancé more handsome than yours, I will be a queen.”
Purbasari was very very sad, because he didn’t have boyfriend yet.
“Here is my fiancé, Indra Jaya. Where is yours?”
Shortly after, Lutung Kasarung came forward. Purbararang was very shocked.
“Your fiancé is a monkey? Are you kidding us?” Then Purbararang laughing very hard/
Suddenly Lutung Kasarung changed into a very handsome guy. And he was even more handsome than Indra Jaya. Finally Purbasari was to be a new queen and she live happily ever after.
Thank’s for your nice attention.
Wassalamu’alaikum wr.wb

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS