STRANGER
Setelah menjalani proses pernikahan
sederhana yang sah menurut hukum yang berlaku,
Hiro tak hentinya berusaha membuang kenangan itu dari ingatanya. Ia tidak
pernah membayangkan akan bersanding dengan
wanita yang tidak sesuai dengan kriteria bahkan berada di bawah
rata-rata. Mengapa harus orang jelek ini? Mengapa harus dia dari banyaknya
gadis di dunia manusia? Hiro terus-terusan mengocehkan hal itu dalam hati. Bahkan
ketika mengenakan baju pengantin pun, penampilanya tetap tidak tertolong.
Pak Kedi mengantar kedua pengantin
baru itu ke rumah baru mereka tanpa berhenti tersenyum, berbeda dengan wajah
kecut penghuni kursi di belakangnya. Meski duduk bersebelahan Hiro dan Vanessa
membuat jarak yang sangat jauh diantara mereka.
“Akhirnya cucuku bisa menikah
juga..” Ujar Pak Kedi terdengar lega.
Akhirnya aku bisa terbebas dari
genggaman kakekku.. Gumam Vanessa dalam hati.
Akhirnya aku punya tempat tinggal
dan uang saku.. Hiro tersenyum kecil, detik selanjutnya ia bergidik ketika
melihat gadis jelek di sebelahnya.
* * *
Matahari berangsur turun ketika van
hitam yang di tumpangi Hiro memasuki salah satu perumahan elit di Tasikmalaya.
Mobil itu berhenti di halaman salah satu rumah kemudian penghuninya turun satu persatu.
“Aku akan sangat merindukan cucuku.”
Pak Kedi berkaca-kaca sambil mendekap Vanessa sebentar.
“Oh ayolah, kakek jangan berlebihan.
Lagipula aku akan sering mengunjungimu.” Ujar Vanessa datar.
“Ingat..” Pak Kedi menatap
dalam-dalam mata Hiro. “Jaga cucuku dengan baik.”
Hiro langsung mengangguk, meski ia
tak yakin apakah bersedia melakukan itu.
“Aku bisa menjaga diriku sendiri
dengan baik kakek.. Cepatlah, lebih baik sekarang kau pulang dan beristirahat.”
Vanessa menuntun Pak Kedi memasuki mobil dengan sedikit memaksa.
Pak Kedi menurunkan kaca mobil,
kemudian berkata sambil nyengir kuda.
“Nikmati malam pengantin baru kalian dengan tenang, dan segeralah beri
aku seorang cicit.”
“Cepatlah jalan, Pak..” Seru Vanessa
kepada sang supir, dan akhirnya mobil itupun melesat pergi.
Setelah mobil itu menghilang di perempatan, kini Hiro dan Vanessa menatap
sebuah rumah minimalis yang ada di hadapan mereka. Rumah itu tampak mungil
namun memberikan kesan elegan hanya dengan melihat tampilan depanya saja.
Vanessa pun mengambil langkah pertama memasuki rumah itu, Hiro mengekor di
belakangnya.
“Kakekmu kan kaya raya, mengapa dia
hanya memberikan rumah sekecil ini?” Hiro bertanya sambil melihat-lihat
bangunan itu dengan terheran-heran.
Vanessa membuka kunci pintu rumahnya,
setelah melihat ke dalam ia menghembuskan nafas panjang. “Tentu saja untuk
ini.”
Hiro langsung melongok kedalamnya,
detik selanjutnya ia tertegun. Cahaya lilin berpendar dengan harum mawar
merebak dari ruangan. Lilin-lilin tersebut diatur sedemikian rupa sehingga
membentuk hati di tengah ruangan, dari depan pintu itu juga terdapat jajaran
lilin yang membentuk jalan menuju suatu tempat. Hiasan bunga-bunga yang
didominasi mawar merah berserakan dilantai, mengikuti alur posisi lilin-lilin.
“Wahhh..” Hiro tak kuasa menahan
rasa terkejutnya. “Kakekmu benar-benar tidak bisa ditebak.”
“Aku bisa menebaknya dengan mudah.”
Ujar Vanessa datar, kemudian melangkah diantara lilin-lilin tersebut mengikuti
arahnya.
Sementara itu Hiro meraih salah satu
bunga yang di rangkai di dinding, ia tersenyum mengingat salah satu
saudaranya.”Peter sering meciptakan bunga seperti ini.”
“Dia petani bunga?”
“Tidak, dia hanya....” Ucapan Hiro
terpotong saat dia menyadari sesuatu. “Iya, maksudku semacam itulah. Dia adalah
seorang pecinta wanita dan pandai merayu.”
“Kurasa dia sangat berbeda
denganmu.”
“Tidak ada satupun dari kami yang
mirip satu sama lain, kau pasti akan terkejut...” Ucapan Hiro terpotong saat
akhinya sampai di sebuah kamar. Terdapat satu kamar tidur besar dengan kelopak
mawar bertaburan diatasnya, disekitarnya jumlah lilin berjajar semakin banyak.
“Orang tua itu sangat berlebihan..”
Gumam Hiro menganga.
“Ini kamarku.” Tegas Vanessa.
“Carilah ruangan lain! Aku ingin segera istirahat.” Vanessa lalu membanting
pintu cukup keras tanpa menunggu jawaban Hiro.
Hiro mendengus kesal. “Dia jelek dan
menyebalkan.”
Detik selanjutnya ia pun mulai menelusuri seisi rumah. 10 menit
kemudian Hiro kembali ke kamar itu dan mengetuk pintunya dengan keras. “Hei...
Vanessa buka pintunya!!”
Tak ada sahutan.
“Sepertinya tidak ada kamar lain di
rumah ini. Jangan bercanda , cepat buka pintunya dan kita berdiskusi untuk
mencari jalan keluar.”
Tetap tidak ada jawaban dari dalam
kamar.
“Rumah ini masih sangat kosong,
tidak ada tempat yang layak untuk tidur. Aku juga benar-benar lelah dan segera
ingin tidur.”
Hiro mengetuk dengan penuh harap, ia
terbayang ranjang berukuran besar dan mewah yang ada di dalam, berkeinginan
untuk dapat berbaring di tempat itu. Namun detik berikutnya ia bergidik, tidur
di ranjang itu berarti harus bersebelahan dengan Vanessa. Hiro pun
membuang jauh keinginanya.
“Hei setidaknya berikan aku baju
untuk mengganti pakaian.” Pinta Hiro dengan nada memohon, tapi tetap tidak ada
sahutan dari dalam kamar.
“Kau sengaja melakukan semua ini padaku? Dasar gadis kumal, hitam,
jelek menyebalkan.” Gerutu Hiro sambil tetap mengetuk-ngetuk pintunya.
“Lihat saja, aku pasti akan
membalasmu.” Hiro menendang pintu itu sebelum akhirnya pergi ke tempat lain.
“Rumah ini masih kosong, apa aku
benar-benar harus tidur di lantai?” Mata Hiro berkaca-kaca, ia mengasihani
dirinya sendiri. “Bahkan setelah menikahi gadis buruk rupa, pada akhirnya aku
tetap tidur di lantai.”
* * *
Saat pagi menjelang, Vanessa membangunkan
Hiro yang sedang terlelap di pojok ruangan.
“Bangun... Cepat mandi dan
bersiap-siap, kita akan ke kampus sekarang.” Ucap Vanessa agak perlahan sambil
mengguncang-guncang tubuh Hiro.
Hiro menggeliat, ia kemudian mengucek
matanya. Ia mendengus tatkala mendapati wajah Vanessa berada di hadapanya.
“Cepat bangun sebelum tukang
bersih-bersih itu menyadari bahwa kau tidur disini.” Tegas Vanessa.
Hiro beranjak dari tempatnya, ia
diseret Vanessa menuju kamar mandi dalam keadaan masih linglung.
“Sekarang kau mandilah, pulang
kuliah kita akan membicarakan soal kontrak pernikahan kita. Oke..”
Vanessa menutup pintu kamar mandi
rapat-rapat, Hiro masih terbengong-bengong. Ia baru bisa mencerna apa yang
terjadi setelah membasuh wajahnya, seketika ekspresinya berubah murung. Ia
menatap pantulan wajahnya sendiri pada cermin. Hiro yang malang. Bisiknya
dalam hati.
* * *
“Kenapa kita harus naik angkot,
bukankah kakekmu kaya? Mintalah mobil padanya.” Tegas Hiro ketika mereka berada
di halte terdekat menunggu angkutan umum menuju kampus.
“Jelas sekali bahwa kau menikahiku
hanya karena harta, ckckck.” Ujar Vanessa datar seraya menghembuskan nafas
berat.
“La-lalu menurutmu apa lagi?” Hiro tergagap, ia merasa tidak enak
dengan ekspresi Vanessa. “Kau pikir aku menikahimu karena cinta, jelas itu
sangat tidak mungkin.”
Vanessa menatap Hiro dalam-dalam, sorot matanya jelas memancarkan
kekecewaan. Hiro mengalihkan matanya dari pandangan Vanessa, ia berdehem gugup.
Saat itu Vanessa menurunkan pandangan ke arah sepatunya.
“Tapi aku berjanji akan melindungimu sebagai seorang suami.” Hiro
sendiri bingung ketika melontarkan kata-kata itu, sementara Vanessa kembali
mengangkat kepalanya dengan ekspresi tak percaya.
Hiro kemudian menggenggam tangan gadis itu sementara tanganya yang
lain berusaha menghentikan angkot yang mereka maksud. Setelah angkot berhenti,
Vanessa di tuntun dengan hati-hati memasuki angkot, dan genggaman mereka
berakhir setelah berada di dalamnya.
* * *
“Itu dia pengantin baru kita..”
Mario berujar ketika melihat sosok Hiro dan Vanessa beriringan melewati gerbang
kampus.
Sugeng ikut menghentikan langkahnya
dan menatap ke arah yang sama dengan Mario.
Tampak Hiro dan Vanessa berjalan
dengan santai, 3 meter di depan mereka sosok Samudra berjalan dengan gagah
menuju gedung Fakultas Pertanian. Bertepatan dengan itu mata Hiro menangkap
sosok Anjani sedang kesusahan membawa buku-buku tebal ditanganya. Keduanya pun akhirnya
menempuh arah berbeda.
Vanessa dengan ekspresi merekah bak bunga yang baru saja bertemu
hujan, pergi mengejar Samudra. Sementara Hiro menghampiri Anjani yang masih
merupakan kandidat Black Fairys baginya.
“Yah, mereka adalah pasangan teraneh
dari semua pengantin baru yang ada.” Celoteh Sugeng saat menyaksikan
pemandangan di depanya, ia pun meneruskan langkahnya sambil menggeleng
kuat-kuat.
“Aku juga sempat kaget, kita semua
tahu bahwa Hiro adalah maniak gadis cantik. Tapi ternyata kriterianya lebih
buruk dari kita semua.” Mario tertawa kecil.
Sugeng menghembuskan nafas panjang.
“Masa bodoh dengan macam-macam kriteria saat kita sudah terlanjur jatuh cinta,
inilah bukti nyata bahwa cinta itu buta.”.
Sementara itu Vanessa tampak
kesusahan berlari dengan rok lebar kedodoranya untuk mengejar Samudra.
“SAMUDRA... AAAA... TUNGGGU AKU!!! Aku akan mengawalmu ke gedung fakultas
Pertanian.”
Hiro dengan coolnya mengambil
sebagian buku dari tangan Anjani. “Tangan cantik itu tidak seharusnya dipakai
untuk membawa barang-barang berat.”
“Terimakasih, Hiro. Loh, dimana
istrimu?” Anjani tampak enggan.
“Bisakah untuk tidak membahas dia
saat bersamaku? Aku ingin cepat-cepat menceraikannya.”
Anjani tertawa. “Kau ini lucu
sekali, padahalkan kalian baru saja menikah.”
Hiro mengangkat bahu.
“Ngomong-ngomong kau akan membawa buku ini kemana?”
“Ke perpustakaan.”
“Baiklah, aku siap mengantar.” Ujar
Hiro seraya tersenyum dengan senyuman paling manis dari yang pernah dilihat
Anjani.
* * *
Setibanya di ruang kelas, Mario dan
Sugeng tak henti mengolok-olok Hiro. Meskipun kesal namun mau tak mau Hiro
harus menelan cibiran yang dialamatkan padanya, karena walau bagaimana pun ia
sendiri tak bisa mengelaknya.
“Aku udah rencana jodohin kamu sama
Agnes Monica, eh tapi ternyata kriteria kamu Cuma setingkat Vanessa. “ Mario
tertawa ngakak sambil memegangi perutnya.
“Ro, gue sama Mario hampir frustasi
milihin cewek yang menurut kamu cantik. Yaelahh kalo ternyata kayak si Vanessa,
banyak di got-got deket rumah gue juga.” Sugeng terpingkal-pingkal menambah
intensitas olokan mereka.
Hiro merasakan telinganya memanas,
ia pun semakin kesal karena tidak bisa berbuat apa-apa. Setelah menggebrak
kursinya sendiri Hiro melengos pergi ke luar kelas. Gelak tawa Mario dan Sugeng
pecah semakin menjadi karena berhasil mempermainkan Hiro.
* * *
“Dasar cewek gak tau malu!! Lo kan
udah punya suami, gak ada hak buat lo ngejar Samudra lagi...”
Ketika melewati salah satu koridor
yang cukup sepi, Hiro mendengar keributan itu. Tadinya ia berniat mengabaikan
hal tersebut, tapi niatnya urung saat ekor matanya menangkap sosok Vanessa
sedang terjepit diantara 4 mahasiswi yang memojokanya di dinding.
“Suamiku sendiri tidak masalah
dengan semua itu, lalu apa hak kalian melakukan ini padaku?” Tegas Vanessa
sambil melempar tatapan tajam yang menusuk.
“Aku benar-benar tidak tahan melihat
sikapmu.. Ini peringatan terakhir kami untuk berhenti menganggu Samudra.”
Mahasiswi yang berhadapan dengan Vanessa membalas tatapan mematikanya. Gadis
bernama Niken itu memerintahkan kedua temanya untuk menahan lengan Vanessa.
Hiro berdiam diri saja pada jarak 5 meter dari sana, masih menimang
apakah harus membantu Vanessa atau tidak.
Vanessa menarik sudut bibirnya. “Aku
bukan pengecut yang akan menyerah hanya karena peringatan kecil seperti ini.
Aku bukan pengecut sepertimu yang tidak berani menghadapiku seorang diri!!!”
Kata Vanessa dengan nada tajam menohok, matanya menatap satu persatu dari ke
empatnya dengan tatapan mengejek.
“DASAR GADIS KURANG
AJAAARRRRRRR......” Niken mengayunkan lenganya sejajar wajah Vanessa. Namun
sebelum telapak tangan itu sampai ke pipi Vanessa, seseorang menghentikanya.
“Berhenti mengganggunya...” Hiro menatap
tajam mata Niken yang berusaha menampar Vanessa, ia memperkuat genggamannya
pada tangan orang itu.
Kedatanganya yang tiba-tiba sontak membuat semua orang terkejut,
tak terkecuali Vanessa sendiri.
Niken membuang muka dengan ekspresi
muak, ia menarik tanganya dari genggaman Hiro sambil tersenyum picik. Sontak
kedua temannya pun melepaskan peganganya pada tangan Vanessa.
“Entah apa kekurangan suami lo
hingga lo masih nekat ngejar Samudra...” Cibir Niken penuh kebencian. Kemudian
pandangannya beralih menatap Hiro. “Kalo lo bener mencintai istri lo yang buruk
rupa ini, didik dia supaya enggak kegatelan di hadapan cowok lain.”
“Apa? Benar-benar mencintai dia?” Hiro
mendadak menyesal membantu Vanessa, rusak sudah imagenya karna sudah dianggap
mencintai si gadis buruk rupa. Hiro mengerang, “Biar kujelaskan,
sebenarnya......”
Ucapan Hiro menggantung karena Niken
dan teman-temanya sudah berlalu dari hadapan mereka.
“Heii jangan pergi dulu, aku tidak ingin kalian
salah paham. Dengarkan dulu penjelasanku...” Namun suara itu seperti tidak
pernah sampai ke telinga Niken, ia tetap melanjutkan langkahnya menjauh dari
Hiro dan Vanessa.
“Kau menyesal hahh? Kalau begitu tidak
perlu datang sekalian..” Vanessa melengos pergi dengan ekspresi sebal.
“Heii tunggu dulu, setidaknya
ucapkanlah terimakasih padaku.” Hiro berusaha menyesuaikan langkahnya sejajar
dengan Vanessa.
“Kenapa aku harus mengucapkan
terimakasih, lagi pula aku bisa mengatasinya sendiri meskipun kamu tidak
datang.”
Hiro mengerang. “Benar kata mereka,
kau sungguh tidak tahu malu.”
“Jika kau sudah menyadarinya,
berhentilah mencampuri urusanku.” Kata Vanessa datar.
Hiro terperanjat ketika mengingat
sesuatu. “Heii... Aku bertanya karna penasaran, mengapa terhadapku kau selalu
bersikap datar? Sementara dihadapan Samudra sikapmu berubah 3600.”
Vanessa menghentikan langkahnya, ia
kemudian menatap Hiro jahil. “Memangnya kenapa? Kau cemburu?”
Hiro mendadak mual, ia mendengus
sebal. “Cemburu pantatku...”
“Aku bersikap datar agar kau tak
menyukaiku.” Jawab Vanessa kalem, ia kemudian melanjutkan langkahnya.
Hiro terkejut, tidak menyangka
kata-kata itu akan keluar sebagai jawaban. “Berhentilah mempermainkanku dengan kata-kata
yang tidak mungkin.”
“Aku serius..” Vanessa masih tetap
datar.
“Lalu Mengapa Samudra tetap tidak
menyukaimu? Padahalkan kau tidak bersikap datar padanya, justru malah
kebalikanya”
“Karena Samudra itu berbeda, dia
sangat berbeda. Aku ingin meluluhkanya.”
“Berbeda seperti apa yang kamu
maksud?”
“Dia tinggi, dia putih, dia atletis,
dia pintar, dia misterius, dia sempurna.. Begitulah, kenapa Samudra berbeda
dari yang lain.”
Hiro mendengus. “Heii apa kamu tidak
sadar, sebenarnya aku pun tidak jauh berbeda dengan....”
Vanessa memotong perkataan Hiro
sambil berdecak. “Tapi kau tidak pintar seperti dia.”
Hiro mengatupkan rahangnya menahan
marah. “Kau benar-benar punya kemampuan membuatku kesal.”
Hiro berniat untuk berbalik arah, ia
berpikir bahwa bicara terlalu lama dengan Vanessa hanya akan membuat mood nya
hancur total. Namun sebelum Hiro sempat menggerakan kakinya, tiba-tiba saja
langit kampus yang cerah berubah mendung. Angin bertiup dengan kencang sehingga
mampu menerbangkan daun-daun di sekitar mereka, tak lama kemudian terdengar
bunyi mendengung yang memekakan telinga diikuti suara seperti lolongan kereta.
Hiro yang kebingungan melihat dengan
seksama ke segala arah, di sekitarnya tidak tampak siapapun kecuali Vanessa.
Langit diatasnya adalah segumpalan awan hitam yng berputar membentuk poros yang
aneh, selain itu angin kencang bertiup semakin menjadi. Hiro meraih lengan
Vanessa dan memeganginya erat.
“Kita harus berlindung, sepertinya
akan terjadi bencana alam.” Teriak Hiro menyaingi suara lolongan aneh tersebut.
Vanessa menarik tanganya, ia
bersikap biasa saja seakan tidak ada hal janggal yang terjadi. “Kau bercanda?
Bencana alam seperti apa yang kau maksud.”
Hiro membulatkan matanya, ia
mengucek matanya sendiri namun keadaan disekitarnya masih mencekam seperti
tadi. “Jangan berpura-pura, bukankah cuaca hari ini benar-benar aneh. Kau
dengar lolongan itu kan? Aku tidak ingat kampus kita dekat dengan rel kereta
api, sebenarnya apa yang telah terjadi..”
Hiro yang kebingungan tidak menangkap
wajah terkejut, takut ataupun heran di wajah Vanessa. Ekspresinya masih
datar-datar saja.
“Oh my god.” Vanessa menepuk
jidatnya sendiri. “Mereka pasti akan mengerjaiku.” Vanessa mendengus lalu
berlari melawan angin memasuki salah satu koridor.
Hiro ingin mengejarnya, namun
mendadak tenaganya hilang. Vanessa sudah hilang dari pandangan matanya ketika
suara lolongan itu berhenti, diikuti tiupan angin kencang yang berangsur
menghilang. Langit masihlah dalam keadaan yang sama, beberapa detik kemudian
kabut aneh turun dari langit dan menyusup ke semua sudut kampus. Kabut tebal
itu membuat pandangan Hiro terganggu, mendadak ia tidak bisa melihat apa-apa
selain warna putih yang menyelimutinya. Atmosfir di sekitarnya perlahan berubah
menjadi begitu dingin sampai-sampai membuat gigi Hiro bergemeletuk karena
menggigil.
Belum selesai kebingungan yang
sebelumnya, jutaan pertanyaan baru menghujam kepala Hiro. Sambil memeluk
tubuhnya sendiri dengan nafas mengeluarkan uap berlebih, Hiro melangkahkan
kakinya tanpa tujuan dan hanya berpedoman pada rasa penasaran terhadap apa yang
terjadi.
5 menit berlalu, kabut disekitarnya
berkurang sedikit demi sedikit, temperatur juga kembali normal. Tapi anehnya,
kabut tersebut menghilang ke satu arah seakan di hisap oleh sesuatu. Tanpa
pikir panjang ia mengikuti arah kabut tersebut dengan langkah hati-hati, sampai
akhirnya Hiro tiba di area Fakultas Keguruan tepatnya di halaman yang cukup
luas. Di depan matanya Hiro melihat kabut dari segala arah berputar-putar lalu
menghilang sedikit demi sedikit, ia kemudian menajamkan pengelihatanya dan
melangkah lebih dekat.
Hiro merasakan tubuhnya melemas, dadanya berdebam-debam tidak
karuan. Tanganya gemetar dan tiba-tiba saja ia lupa bagaimana caranya bergerak.
Saat melihatnya, saat melihat sosok itu secara langsung, Hiro terpaku dan tidak
bernafas sama sekali. Bola matanya menangkap sosok penghisap kabut yang
berwujud peri, bersayap hitam, cantik, anggun, mempesona, SEM-PUR-NA.
“Black Fairy...” Tanpa sadar
bibirnya mengucapkan kata tersebut. Ia hampir tidak percaya makhluk yang selama
ini di carinya itu kini tengah berada tepat di depan matanya sendiri.
“Black Fairy...” Hiro mengulang kata
itu, kakinya terangkat menempuh satu langkah yang sulit.
Black Fairy itu tengah berbutar, bertputar
dalam gerakan yang indah seakan tengah menari. Setelah kabut itu bersih, Black
Fairy menghentikan gerakanya perlahan-lahan. Ia kemudian mengarahkan
pandangannya ke arah Hiro sehingga mata mereka bertemu. Dalam keadaan diamnya
Hiro merasakan girang tak karuan, beradu pandang dengan Black Fairy seakan
memberikan sensasi ajaib di dalam dadanya. Namun tak sempat 5 detik, perwujudan
Black Fairy yang seringan kapas meluncur kelangit dalam kecepatan tinggi.
Hiro mernganga, ia menatap kepergian
Black Fairy hingga sosoknya menghilang dalam pelukan langit. Bahkan aku
tidak sempat mengucapkan kata ‘Hai..’
Dalam pikiranya yang masih di penuhi
tentang Black Fairy, Hiro kembali dikejutkan dengan adanya sosok berbaju besi
yang tengah mengarahkan mata panah ke langit. Orang itu berada tepat sejajar
dengan Hiro, hanya saja Hiro baru menyadarinya karena sebelumnya posisi orang
itu terhalang oleh Black Fairy.
Hiro menyipitkan matanya, detik
selanjutnya ia tertegun. Bukankah dia Samudra... Hiro menggeleng tak
percaya, namun sosok dengan kain hitam dililitkan di kepalanya memang tampak
seperti Samudra. Tapi mengapa ia mengenakan baju besi? Mengapa ia mengarahkan
mata panah ke langit? Apa mungkin ia bermaksud memanah Black Fairy?
“HIRO.....” Hiro terperanjat
mendengar suara teriakan itu. Ia kemudian membalikan tubuhnya dan mendapati
Vanessa sedang berlari mendekat.
“Apa yang kau lakukan disini, ayo
cepat kita pulang sekarang. Kakekku ada di depan gerbang, katanya dia ingin
bertemu dengan kita..”
“Sebentar, kau liat disana....” Ucapan Hiro
menggangtung, saat ia berbalik sosok Samudra sudah menghilang tanpa jejak.
“Liat apa? Disana tidak ada apa-apa.
Berhentilah bersikap aneh dan ayo kita pulang.” Pinta Vanessa dan menarik
tangan Hiro.
“Apa kamu tidak merasakan hal aneh?
Seperti awan mendung, angin, suara lolongan, kabut, dan....”
Vanessa menghela nafasnya saat
melepaskan tangan Hiro. “Biar aku tegaskan sekali lagi, tidak ada hal aneh yang
terjadi hari ini. Cuacanya tidak berubah, tetap cerah seperti sekarang.”
“Tapi aku benar-benar..”
“Berhentilah meracau tidak jelas, atau kau benar-benar akan
dianggap seperti orang gila.” Vanessa menggeleng dan mengejek Hiro dengan
tatapanya. “Ayo cepat kita pergi, kakekku menunggu diluar.” Lanjutnya.
Hiro menahan lengan Vanessa sehingga langkah gadis itu berhenti.
“Tadi kau pergi kemana? Mengapa aku tidak bisa menemukanmu?”
“Aku pergi ke kelas mengambil tasku, Niken si nenek sihir itu tidak
akan melepaskanku dengan mudah. Dan tepat seperti dugaanku, tas kesayanganku
ini jadi korbanya.” Vanessa memeluk tasnya sendiri yang sudah sobek disana-sini
dan berbau telur busuk, wajahnya tampak sedih.
Hiro menutup hidungnya. “Kenapa kau masih memungutnya? Buang tas
itu, benar-benar menjijikan! Baunya menggangguku!!”
“Tidak akan, tas ini adalah tas kesayanganku.”
“Bersyukurlah tas itu rusak, kau bisa meminta yang baru pada
kakekmu. Dan belilah model terbaru yang kekinian, jangan seperti tas nenek-nenek
yang sudah ketinggalan jaman itu.”
“Hahh, sudahlah.. Percuma berdebat dengan seseorang yang tidak
mengerti fashion.” Kata Vanessa sambil berlalu.
Hiro menggeleng, ia menatap bagian belakang Vanessa dari ujung kaki
hingga ujung rambut. “Coba lihat siapa yang bicara. KAULAH YANG CUPU, CULUN,
KUMAL....”
Vanessa berbalik dan menjulurkan lidahnya. “Aku pulang, terserah
padamu ingin ikut bersama kami atau tidak.”
“Perempuan gila menyebalkan...” Gerutu Hiro. Namun kekesalanya
hilang dengan cepat mengingat kebingungan yang belum terpecahkan. Apa
Vanessa benar-benar tidak merasakanya? Tapi tidak mungkin, kejadian tadi
benar-benar jelas, aku yakin aku tidak salah. Mungkin Vanessa hanya ingin
mempermainkanku saja,agar terlihat seperti orang bodoh.
Lalu ia kembali menatap langit. Apa yang tadi kulihat itu
benar-benar Black Fairys? Hiro terdiam, kemudian menertawakan dirinya
sendiri. “Dia lebih sempurna dari semua khayalan yang aku buat tentangya.”
Selintas pikiranya mengingat Anjani, kandidat Black Fairy yang
cantik, pintar dan paling baik hati itu. “Ya benar... Black Fairy pasti menurunkan
kadar kecantikanya agar bisa berbaur dengan manusia, tidak menutup kemungkinan
bahwa dia adalah Anjani.”
Dengan langkah lebar Hiro menempuh jarak ke arah kelas Anjani,
kebetulan ia memang sedang berada di dekat gedungnya. Setelah sampai disana, ia
mendapati mahasiswa Jurusan Biologi sedang berlajar dengan tertib seperti
biasanya.
“Mengapa mereka masih setenang ini? Bukankan baru saja terjadi hal
aneh yang mengerikan di tempat ini.” Gurau Hiro masih kebingungan, kepalanya
pusing dipenuhi pertanyaan-pertanyaan mengenai hal aneh yang baru saja
dialaminya.
Hiro tidak membiarkan dirinya berdiam diri terlalu lama, ia
mengetuk pintu kelas Jurusan Biologi I kemudian membukanya perlahan.
“Permisi pak, saya ingin bertemu sebentar dengan Anjani.” Kata Hiro
sopan.
Dosen yang sedang menyampaikan persentasinya terdiam setengah
kebingungan. “Apa di kelas kita ada yang bernama Anjani?” Tanya dosen itu
kepada mahasiswanya.
Sementara itu seisi kelas menjadi hening, mereka berpandangan satu
sama lain dengan heran. Kemudian seorang mahasiswa berkemeja angkat bicara.
“Tidak ada yang namanya Anjani di kelas kami.”
“Apa? Ehh, jangan bercanda. Aku yakin ini kelasnya.”
“Tapi kami yakin tidak ada yang namanya Anjani di jurusan kami,
mungkin dia dari jurusan lain.” Timpal yang lain.
Hiro mencari-cari kebohongan dari wajah seisi kelas yang kurang
lebih berjumlah 40, namun nihil mereka tampaknya bicara jujur apa adanya.
“Kalau begitu maaf karena sudah mengganggu kelas kalian,
Terimakasih Pak.” Hiro undur diri, namun ia tidak langsung pergi dari sana.
Beberapa detik setelah ia menutup pintu, Hiro membukanya lagi.
“Satu lagi, apakah tadi kalian merasakan cuaca tiba-tiba berubah aneh? Seperti mendung,
angin yang bertiup kencang, dan kabut tebal turun dari langit. Ah, dan terdengar
suara lolongan juga.” Cerocos Hiro.
Untuk kesekian kalinya seisi kelas hening, mereka terdiam dan
menatap aneh ke arah Hiro.
“Cuaca hari ini baik-baik saja.” Jawab dosen dengan wajah datar.
“Pulang dan beristirahatlah, sepertinya hari ini kau lelah sekali.”
“Kalau bisa luangkan waktumu untuk pemeriksaan ke RSJ.” Gurau salah
satu mahasiswa disambut gelak tawa teman-temanya di kelas itu.
“Tampaknya dia memang gila.. Setelah menanyakan orang yang tidak
ada, ia bergurau tentang cuaca aneh. Padahal hari ini baik-baik saja.” Kata
yang lainya, gelak tawa di ruang kelas pun makin menjadi.
Hiro langsung menutup pintu dan terdiam di luar. Ia memijit
keningnya frustasi, kepalanya terasa lebih sakit lagi saat itu.
“Mungkin memang aku yang sudah gila..” Guraunya, namun Hiro
menampiknya kuat-kuat. “Aku yakin aku tidak gila, aku bisa merasakanya dengan
jelas.”
Apa mungkin hanya aku saja yang merasakanya?
Dimana Anjani?
Apa dia menghilang setelah aku melihat Black Fairy secara langsung?
Apa kebetulah, dia benar-benar Black Fairy?
Aishhhh, dimanakah saudara-saudaraku dalam situasi seperti ini. Aku
membutuhkan mereka
TBC